Pakar hukum pidana, Suparji Ahmad, menuturkan, laporan Ubedilah masih bersifat dugaan. Menurut dia, unsur delik hukum atas laporan itu masih belum memiliki bukti.
“Jadi belum ada kualifikasi sebagai delik hukum, karena yang dilaporkan masih sebatas informasi awal, temuan awal dari sang pelapor. Belum ada unsur delik hukumnya,” ujar dia saat dihubungi Ahad, 16 Januari 2022.
Suparji yang juga dosen di Universitas Al Azhar Indonesia, mengatakan langkah Ubedilah merupakan bagian pengaduan masyarakat, yang menemukan suatu informasi awal.
Untuk pelaporan balik terhadap Ubedilah, Suparji meminta agar polisi yang menerima laporan hendaknya bersifat selektif. Selain itu, dia juga meminta agar polisi perlu melakukan verifikasi apakah laporan dapat ditindak lanjuti atau tidak, dan apakah memang ada peristiwa pidananya atau tidak.
“Jadi di sinilah polisi punya kewenangan untuk menilai apakah pihak yang dilaporkan gara-gara melaporkan tindak pidana korupsi itu dapat dikategorikan telah melakukan sebuah tindakan pidana,” tutur Suparji.
Suparji juga berharap, sesuai dengan konsep presisi, polisi harus benar-benar objektif menilai atas laporan baik tersebut. Sehingga tidak kontradiktif terhadap upaya pemberantasan korupsi. “Dan di sisi yang lain juga sebagai upaya membangun sebuah kecermatan dalam menyampaikan sebuah laporan,” katanya.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, menjelaskan, dari sisi konstruksi hukum, bagi ICW apa yang dilakukan Jokowi Mania tidak kuat. Karena, jika diperhatikan secara detail, yang menjadi dasar pelaporan terhadap Ubedilah adalah menggunakan delik hoax.
“Sementara yang berwenang untuk menentukan laporan itu bernuansa tindak pidana korupsi atau tidak bukan mereka, tapi KPK,” ujar Kurnia saat dihubungi pada Ahad, 16 Januari 2022.
Jadi, Kurnia melanjutkan, tidak tepat jika kepolisian malah menindaklanjuti laporan Jokowi Mania itu, karena masih perlu menunggu hal substansi yang disampaikan KPK nanti. Menurutnya, beban pembuktian untuk menentukan itu dugaan tindak pidana atau bukan berada pada ranah pelapor, karena pelapor adalah masyarakat yang tentu memiliki keterbatasan mengakses dokumen data dan lain sebagainya.
Namun, karena sudah masuk ke dalam proses di KPK, sehingga masih harus menunggu bagaimana kelanjutannya. “KPK punya kewajiban untuk menyampaikan hal itu kepada pelapor dan masyarakat, bagaimana pandangannya terhadap laporan itu, tentu setelah melakukan fase penelaahan dokumen dan lain sebagainya,” tutur Kurnia.
Selain itu, Kurnia juga mengingatkan bahwa peran serta masyarakat dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Dan tindakan melaporkan pelapor dugaan tindak pidana korupsi kepada penegak hukum itu, disebutnya berpotensi memberangus demokrasi, bukan hanya terkait dengan kebebasan berpendapat saha, tapi partisipasi warga negara yang ingin melpaorkan dugaan tindak pidana korupsi.
“Ada undang-undang perlindungan saksi dan korban, yang menjamin tidak boleh ada pelaporan balik sebelum ada keputusn konkret kebenaran atas laporan tersebut,” katanya sambil mebambahkan, terutama laporan tindak pidana koprupsi.
Apa alasan Ubedilah Melaporkan Gibran dan Kaesang?