Arifin menjelaskan bahwa BLU untuk pungutan batu bara itu nantinya akan mirip dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang selama ini mengelola duit untuk mendukung kebijakan B30. Nantinya, perusahaan-perusahaan batu bara juga akan ditarik pungutan berdasarkan klasifikasi kalori produknya yang duitnya akan diberikan kepada PLN guna membeli batu bara di harga pasar.
"Nanti selisihnya (antara harga pasar dan harga DMO) akan dikembalikan dari kutipan masing-masing perusahaan. Nanti perusahaan akan ada klasifikasinya. Yang kalorinya rendah akan diberikan tarif berapa, nanti semua akan dikenakan kewajiban itu," ujar Arifin.
Alih-alih mereda, Kardaya justru menambah poin penolakan atas gagasan itu. Ia berpendapat kutipan atau pungutan untuk para pengusaha batu bara membutuhkan landasan hukum berupa Undang-undang. Karena itu, ia khawatir justru ketika BLU itu muncul, pungutan tidak bisa ditarik lantaran tidak ada dasar hukumnya.
"Menurut saya penting, karena ini nanti akan memungut maka harus ada UU dulu. Jangan menimbulkan masalah hukum. memungut uang perlu Undang-undang," ujar dia.
Anggota Komisi Energi dari PAN, Nasril Bahar, menyebut sikap DPR menolak PLN membeli batu bara pada harga pasar sejatinya akan sepaket dengan penolakan atas pembentukan BLU. "Komisi VII mendesak dan menolak harga pasar. Artinya apa? Tidak berlaku BLU, Pak. Tidak berlaku BLU."
Pernyataan itu juga didukung oleh Ketua Komisi Energi DPR Sugeng Suparwoto. Sugeng melihat batu bara dan sawit memiliki karakteristik yang berbeda. Sehingga, pembentukan BLU tentu membutuhkan kajian yang mendalam.
Ketimbang menelurkan skema anyar, ia menyarankan pemerintah tetap menggunakan skema DMO yang jelas-jelas memiliki dasar hukum, yaitu Undang-undang Mineral dan Batu Bara.