Kemunculan varian baru dan lonjakan kasus ini tak ayal memicu tambahan biaya penganan yang tak sedikit. 21 Desember lalu misalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah mengeluarkan dana yang besar untuk membiayai penanganan pasien Covid-19 akibat merebaknya varian Delta pada Juli lalu.
Pembiayaan itu salah satunya untuk membayar klaim perawatan pasien di rumah sakit. Sampai 30 November 2021, total klaim perawatan kesehatan untuk pasien Covid-19 akibat varian Delta ini menyentuh Rp 49,6 triliun. Klaim ini dibayarkan bagi 768,9 ribu pasien.
"Maka itu kita mengalami delta varian dengan lonjakan tinggi, ongkosnya terhadap ekonomi luar biasa besar. Hampir Rp 50 triliun," ujar Sri Mulyani
Biaya penanganan Covid-19 ini juga sebelumnya membuat pemerintah diberi kewenangan memperlonggar defisit APBN melebihi 3 persen sesuai perintah UU Keuangan Negara. Kewenangan itu tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Sehingga, defisit 2020 langsung membengkak jadi 6,14 persen, dari sebelumnya di bawah 3 persen, untuk menutupi besarnya biasa menangani pandemi. Tapi tahun ini, defisit dipatok turun menjadi 5,25 persen tahun ini dan 4,85 persen tahun depan. Lalu, defisit akan diturunkan kembali di bawah 3 persen pada 2023 yaitu 2,68 persen dan sampai 2,23 persen pada 2025.
Sehingga, Sri Mulyani mengingatkan bahwa APBN 2022 adalah periode terakhir penetapan defisit melebihi 3 persen. "Ini jelas merupakan tahun yang sangat penting," kata Sri Mulyani.
Konsekuensi dari defisit ini adalah rasio utang. Sampai 13 Desember lalu, realisasi rasio utang terhadap PDB sudah mencapai 41,4 persen dan tahun depan naik jadi 43,1 persen. Kementerian pun menyadari banyak pertanyaan dari publik mengenai kenaikan tersebut.
"Pemerintah tentu sangat concern mengenai hal ini," kata Riko Amir, 13 Desember lalu. Ia memastikan rasio utang ini akan terus dijaga dan diupayakan turun dalam beberapa tahun ke depan. Mulai dari 42,8 persen (2023), 42,48 persen (2024), dan 41,82 persen (2025).
Tahun ini, pemerintah menggelontorkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 744,7 triliun, di mana pos terbanyak yaitu kesehatan yang mencapai Rp 214,96 triliun. Tapi, dana Rp 747,7 triliun ini diproyksi hanya akan habis 88,5 persen saja atau Rp 658,9 triliun sampai akhir tahun. Alokasi untuk kesehatan pun diproyeksi hanya habis 89,8 persen atau Rp 193 triliun.
Tahun depan, dana PEN turun jadi Rp 414,1 triliun dan alokasi untuk kesehatan sebesar Rp 117,9 triliun. Menteri Koordiantor Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut pemerintah juga menyiapkan dana khusus untuk mengantisipasi efek Omicron sebesar Rp 52 triliun.
Dua pos belanja akan jadi sasaran utama aneka anggaran ini, terutama yaitu testing dan traciing, karena laju penularan Omicron lima kali lebih cepat. “Dari satu nularin ke lima, lima ke 25, jadi pangkat lima,” kata dia, hari ini.
Berikutnya yaitu belanja untuk vaksin booster tahun depan, yang di dalamnya ada program dibiayai pemerintah dan mandiri alias berbayar. Saat ini, kata Airlangga, pemerintah masih menunggu rekomendasi dari Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) untuk pemberitan booster ini, apakah sejenis atau bisa dicampur berbeda jenis vaksin. “Kami tunggu hasil dari ITAGI,” kata dia.
Airlangga mengatakan pihaknya masih akan melihat dampak ini pada kemungkinan defisit yang makin lebar di tahun 2022 dan potensi kenaikan rasio utang pada PDB yang sudah dipatok 43,1 persen. Lantaran, kedua indikator ini ditargetkan menurun pada 2023. Contohnya defisit yang harus turun lagi di bawah 3 persen pada 2023.
“Tentu kami akan lihat capain-capaian di 2022 nanti,” kata dia. Sebab, kata dia, beberapa tren positif sudah terjadi di 2021 ini. Pertama, defisit tahun ini diproyeksi lebih kecil dari target yang sebesar 5,7 persen. Kedua, penerimaan negara pun sedang bagus, seperti contohnya pajak yang bisa melampaui target sebelum tutup tahun.
Sementara, Ekonom Indef, Riza A. Pujarama, mengatakan efek Omicron ini bisa diredam dengan mitigasi di sektor kesehatan. Salah satu yang menjadi sorotannya adalah bagaimana ke depan research and development (R&D) di bidang kesehatan perlu didorong. “Sehingga dapat memitigasi dengan cepat terhadap varian baru Covid dan bahkan penyakit lainnya,” kata dia.
Lalu dengan berlanjutnya dana PEN di 2022, Riza menilai mesti ada perbaikan dari sisi data agar lebih tepat sasaran. “Lalu, dapat memberikan daya dorong pada perekonomian dengan lebih baik,” ujarnya.
FAJAR PEBRIANTO | BISNIS
BACA: Sederet BUMN dengan Gundukan Utang, Mana yang Paling Besar?