Bagi Walhi, berbagai ucapan Jokowi itu adalah lagu lama yang diulang-ulang. Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi, Yuyun Harmono, mencatat sejumlah hal krusial yang seharusnya dibenahi justru hilang dari pidato itu.
Yuyun mencontohkan dalam pembahasan mengenai pendekatan mengenai pengakuan hak atas korban perubahan iklim sama sekali tak dibahas Jokowi. Di Indonesia, menurut dia, korban perubahan iklim ini sudah ada. Cara mengakui hak korban ini hingga kepada siapa kerugian ini ditagih, tak pernah dijelaskan.
"Kalau Jokowi tak punya stand (posisi) kuat dalam hal ini, saya kira dia tak melihat realitas dalam negeri bahwa krisis iklim sudah terjadi," kata Yuyun.
Selain itu, Yuyun menyoroti transisi menuju energi baru terbarukan dari energi fosil, juga tak dijelaskan Jokowi. Ia enggan memberi sikap tegas kapan Indonesia akan meninggalkan energi kotor terutama batubara. Apalagi, dalam dokumen-dokumen RUPTL PLN yang diklaim sebagai RUPTL hijau, sampai 2030 masih akan dibangun sekitar 13,8 gigawatt sumber energi yang berasal dari Batubara.
Tak dijelaskan secara detail juga bagaimana tahapan transisinya. Meski Jokowi sempat menyinggung tentang ekosistem mobil listrik, namun peralihan dari energi kotor ke energi baru terbarukan, jika sembarangan, juga kerap menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah.
"Sulawesi, Papua, itu akan jadi ladang-ladang penghancuran lingkungan baru melalui tambang nikel jika tak hati-hati dan menerapkan konsep transisi yang betul," kata Yuyun.