TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah membuka peluang penjabat gubernur atau kepala daerah diisi perwira tinggi TNI-Polri pada masa transisi Pilkada 2024. Tahun depan, setidaknya ada tujuh kursi gubernur yang kosong karena sudah habis masa jabatannya.
Posisi ini akan diisi oleh penjabat gubernur hingga Pilkada 2024. Kemudian, pada 2023 akan ada 13 kursi kepala daerah lagi yang kosong.
Rencana ini dikhawatirkan akan memunculkan dwifungsi ABRI. “Jangan apa-apa TNI-Polri, nanti orang akan berpikir berarti dwifungsi ABRI ada lagi,” kata pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti kepada Tempo, Senin, 27 September 2021.
Susi mengatakan reformasi menginginkan agar militer tidak lagi melaksanakan dwifungsi, tetapi menjalankan fungsi utamanya yang diatur dalam UUD 1945. Berdasarkan Pasal 30 UUD 1945, fungsi utama TNI adalah sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Sedangkan fungsi utama Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Menjadi penjabat gubernur atau kepala daerah, kata Susi, bukanlah fungsi utama TNI dan Polri. Karena itu, ia mempertanyakan penunjukan perwira tinggi TNI-Polri sebagai penjabat daerah akan mengganggu fungsi utamanya atau tidak.
Kritikan juga datang dari Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati. Ia mengingatkan pemerintah agar tak mengangkat anggota TNI atau polisi aktif sebagai penjabat gubernur. Kekhawatirannya adalah soal netralitas, apalagi nanti akan menjabat sampai 2024," ujar Khoirunnisa.
Pemerintah pernah beberapa kali menunjuk perwira TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah. Misalnya, saat menunjuk Mayjen TNI Soedarmo sebagai Penjabat Gubernur Aceh dan Inspektur Jenderal Carlo Tewu sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Barat. Kemudian, pemerintah pernah mengangkat Komjen Mochamad Iriawan menjadi penjabat Gubernur Jawa Barat.