Khoirunnisa berharap preseden buruk tersebut tidak berulang. "Ini sangat disayangkan. Kalau memang stok pejabat madya di Kementerian Dalam Negeri sudah habis, sebetulnya kan bisa mencari pejabat madya di Kementerian lain seperti Kemenpan-RB, Polhukam atau Kumham," kata dia.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, meminta pemerintah memikirkan kembali rencana tersebut. Ia juga menyampaikan bahwa pengalaman dwifungsi ABRI di masa lalu perlu jadi pelajaran.
Menurut Ketua DPP PKS ini, ada perbedaan mendasar pengabdian antara sipil dan TNI/Polri. Misalnya, pola komando yang melekat pada TNI/Polri dengan pola pelayanan yang biasa melekat pada birokrat.
Posisi kepala daerah yang diisi pelaksana tugas dalam waktu lama juga dinilai berbahaya bagi stabilitas dan kualitas pelayanan publik. Mardani menjelaskan, tanpa legitimasi pemilu dan dukungan partai politik, penjabat kepala daerah dari kalangan TNI/Polri tidak memiliki posisi politik yang kuat. “Padahal menjabat sebagai pimpinan daerah,” ujar Mardani.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan mengatakan, pemerintah dalam menunjuk penjabat kepala daerah mengikuti aturan yang tertera dalam Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016. "Penjabat Gubernur berasal dari Pejabat Pimpinan Tinggi Madya atau setingkat eselon 1," kata Benni.
Ia tak menampik bahwa anggota TNI/Polri yang telah menduduki jabatan pimpinan tinggi madya di instansi pusat, bisa saja menjadi penjabat Gubernur. Namun, kata Benni, ihwal penjabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan jabatan menjelang Pilkada 2024 belum dibahas sampai saat ini. "Terkait hal itu, untuk Pilkada 2024, hingga saat ini belum ada pembahasan di Kemendagri," katanya.
Baca juga: TNI-Polri Jadi Penjabat Kepala Daerah, Ini Kekhawatiran Sufmi Dasco
FRISKI RIANA | DEWI NURITA