TEMPO.CO, Jakarta - Vaksin Nusantara yang diinisiasi mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, mengundang polemik karena klaim keampuhannya. Padahal, uji terhadap vaksin tersebut baru selesai di fase pertama.
Vaksin hasil kerja sama Balai Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan, RSUP dr Kariadi, dan Universitas Diponegoro Kota Semarang ini diklaim memiliki efek samping minimal, kekebalan lebih lama, dan harga terjangkau, yaitu US$ 10 atau sekitar Rp 140 ribuan dengan kurs Rp 14 ribu.
Sementara masih dalam tahap uji, sudah banyak klaim-klaim terkait keampuhan vaksin ini. Terawan mengatakan bahwa Vaksin Nusantara bersifat "personalized" dan efektif untuk segala usia, mulai dari anak-anak hingga di atas 60 tahun, termasuk semua penyakit penyerta (komorbid).
"Dengan adanya dukungan dari Komisi IX DPR RI untuk memproduksi Vaksin Nusantara ini, maka mudah-mudahan ada percepatan karena untuk vaksin ini harus ada 'extraordinary' agar negara kita bisa sejajar dengan negara-negara produksi vaksin. Hanya saja platform kita berbeda," ujar Terawan seperti dikutip dari Antara, Selasa 16 Februari 2021.
Anggota Tim Peneliti Vaksin Nusantara Yetty Movieta Nency menerangkan pembuatan vaksin itu diawali dengan mengambil darah pasien. Kemudian diambil sel darah putih dan sel dendritiknya. Sel ini kemudian dikenalkan dengan rekombinan dari SARS-CoV-2. "Prosesnya sekitar seminggu kemudian disuntikkan kembali," katanya.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. TEMPO/Subekti.
Lantaran berasal dari sel yang diambil dari tubuh penerima, Yetty mengklaim, vaksin dari sel dendritik ini kecil kemungkinan menimbulkan infeksi. "Kemungkinan reaksi penolakan lebih rendah," ucap dia.
Dari hasil uji awal (tahap 1), Yetty menilai tak ditemukan efek berlebihan. Vaksin Nusantara juga disebut tergolong aman lantaran tak ada tambahan ajufan maupun komponen binatang. Hal tersebut sekaligus meyakinkan masyarakat terhadap status halal vaksin Covid-19.
Baca: Mengenal Vaksin Nusantara Gagasan Terawan: Masih Diuji, Diklaim Minim Risiko
Tim Peneliti Vaksin Nusantara kini menunggu restu Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM untuk memasuki penelitian fase kedua.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mempertanyakan klaim Terawan. "Saya belum menemukan laporan di jurnal mengenai laporan uji klinik tahap satunya. Apalagi fase dua, saya juga belum bisa mencari datanya. Jadi klaim yang terlalu dini," kata Ketua Satgas Covid-19 PB IDI, Zubairi Djoerban, saat dihubungi Tempo, Sabtu, 20 Februari 2021.
Selanjutnya: Ada yang meragukan.....