Salah satu jurnalis yang mendapat kekerasan tanpa pendampingan hukum adalah Tohirin, dari CNNIndonesia.com. Ia mengaku dipukul dan ponselnya dihancurkan. Ia menerima perlakuan itu ketika meliput demonstran yang ditangkap polisi di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.
“Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” kata dia yang mengklaim telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan Pers miliknya ke aparat.
Peter Rotti, wartawan Suara.com yang meliput di daerah Thamrin juga menjadi sasaran polisi. Ia merekam saat polisi diduga mengeroyok demonstran. Anggota Brimob dan polisi berpakaian sipil menghampirinya meminta kamera Peter. Peter sempat menolak. Namun kemudian Peter diseret, dipukul dan ditendang gerombolan polisi yang membuat tangan dan pelipisnya memar. “Kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya,” ujar Peter
Ponco Sulaksono, jurnalis Merahputih.com bahkan ditangkap oleh polisi. Ponco sempat tak bisa dikontak selama beberapa jam hingga tengah malam tadi. Belakangan diketahui, polisi menangkap Ponco dan menahannya di Polda Metro Jaya. Foto terakhir Ponco di tahanan polisi tampak ia masih mengenakan jaket biru gelap dengan tulisan PERS besar di bagian punggung.
AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers mengecam tindakan polisi menganiaya, dan menghalangi kerja wartawan. Menurut AJI, tindakan itu melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan kekerasan polisi terhadap jurnalis terus berulang di banyak aksi demo. Dalam aksi menolak revisi UU KPK pada 2019, kata dia, sejumlah jurnalis juga menjadi korban kekerasan. Meski telah membuat laporan, tak satupun kasus itu masuk ke pengadilan.
M JULNIS FIRMANSYAH l YUSUF MANURUNG l SUSENO AJI NUGROHO