Upaya penghalangan pendampingan hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian, kata Isnur, bertentangan dengan prinsip fair trial sebagaimana yg ada dalam Konstitusi, KUHAP & Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol) atau UU 12/2005 bahwa setiap orang sama kedudukannya di mata hukum dan memiliki hak pendampingan oleh kuasa hukum saat diperiksa.
Kepolsian juga dituding telah melanggar Prinsip Dasar PBB tentang Peran Pengacara angka 8 yang menyatakan bahwa orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara berhak dikunjungi, berkomunikasi, dan konsultasi dengan pengacara tanpa penundaan.
Bahkan kepolisian melanggar peraturannya sendiri, yaitu Pasal 27 ayat 2 huruf o Perkap No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian RI, yang menyatakan petugas dilarang menghalangi-halangi penasehat hukum untuk memberikan bantuan hukum kepada saksi atau tersangka yang diperiksa.
Atas dasar alasan itu, Isnur meminta polisi membuat data jumlah massa aksi yang ditangkap, yang sudah dibebaskan serta yang status pemeriksaannya dilanjutkan.
"Beri akses bagi pendamping hukum agar dapat mendampingi massa aksi yang menjalani pemeriksaan lanjutan dan memastikan hak-hak mereka terpenuhi," kata Isnur.
Selain sulitnya pemberian bantuan hukum kepada pendemo, polisi juga diduga melakukan kekerasan fisik kepada para massa yang ditangkap. Tindakan itu bahkan tak pandang bulu, sebanyak 7 jurnalis yang sedang meliput demo pun juga ditangkap dan dianiaya polisi tanpa diberi kesempatan mendapat pendampingan hukum.