Sejumlah ekonom sepakat bahwa yang dibutuhkan di masa pandemi ini adalah permintaan alias konsumsi masyarakat. Peneliti dari Center of Macroeconomics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan menilai gaji ke-13 memang bisa menjadi stimulus perekonomian karena dapat dengan mendorong konsumsi. "Tapi tidak signifikan," kata dia.
Pertama karena total anggaran yang digelontorkan hanya sekitar Rp 28,5 triliun atau lebih rendah dari tahun sebelumnya. Di sisi lain, gaji ke-13 pun sifatnya adalah tambahan, bukan gaji pokok per bulan yang memang digunakan untuk konsumsi.
Sejumlah warung makan tutup saat diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat merebaknya COVID-19 di kawasan Kalibata, Jakarta, 13 April 2020. Kenaikan harga barang ditambah penghasilan yang menurun adalah kombinasi fatal pemukul daya beli. Pemerintah harus mengantisipasi merosotnya konsumsi yang selama ini jadi penyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia. ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA
Kedua karena jumlah ASN di Indonesia pun juga tidak mendominasi. Terlebih, kata Abdul, kelas menengah di PNS juga akan memilih menggunakan gaji ke-13 untuk berjaga-jaga atau untuk asuransi pendidikan anak. "Kelas menengah ini lebih rasional untuk menyiapkan dana," kata dia.
Data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) menunjukkan, jumlah PNS per Desember 2019 mencapai 4,18 juta orang. Sebanyak 92,53 persen adalah eselon III dan IV. Sementara kelompok yang tidak menerima gaji ke-13, yaitu eselon I dan II, hanya sejumlah 4,23 persen.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah juga punya pandangan lain. Menurut dia, pemerintah semestinya mencairkan gaji ke-13 PNS hanya untuk pegawai yang non-eselon, khususnya guru dan tenaga medis, di masa pandemi corona. Sebab, keuangan negara saat ini sudah sangat tertekan. “Penerimaan pajak turun, sementara pengeluaran meningkat untuk menstimulus perekonomian,” tutur dia.
Meski demikian, Kementerian Keuangan tetap berharap bahwa gaji ke-13 ini akan mengerek laju konsumsi secara signifikan. Sebab, saat ini juga bertepatan dengan momen kenaikan kelas dan tahun ajaran baru. Kebutuhan untuk perlengkapan belajar dari rumah, seperti laptop, gawai, atau paket internet semestinya cukup tinggi. "Jadi marginal prospensity to consume besar," kata Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystalin saat dihubungi.
FAJAR PEBRIANTO