Tempo.Co, Jakarta - Produsen minuman ringan cemas mendengar rencana pemerintah mengutip cukai. Usulan itu diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Muluyani dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 19 Februari 2020.
"Penerapan cukai minuman dengan pemanis akan menjadi pukulan telak bagi industri dan akan berdampak negatif pada pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja," ujar Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan alias Asrim, Triyono Prijosoesilo, kepada Tempo, Kamis, 20 Februari 2020.
Tanpa pungutan cukai pun, ujar Triyono, industri minuman ringan sedang loyo. Triyono mengaku kondisinya saat ini belum pulih betul akibat melemahnya pertumbuhan ekonomi. Dibandingkan lima tahun lalu, pertumbuhan permintaan minuman manis tak bisa lebih dari 10 persen.
Sepanjang Semester I 2019, pertumbuhan produksi minuman ringan nasional hanya sekitar 2 persen. Angka itu sudah cukup membaik ketimbang periode yang sama tahun 2018, ketika pertumbuhan produksinya minus.
Dengan adanya penerapan tarif cukai itu, Triyono meyakini harga produk di tingkat konsumen juga bakal ikut naik. Sehingga, diperkirakan akan menekan turun angka penjualan produk. Karena itu, ia berkeras berpendapat bahwa pengenaan cukai pada minuman kemasan adalah kebijakan yang tidak tepat.
Triyono juga menyebut bahwa alasan pengenaan cukai tak relevan mengurangi prevalensi diabetes. Sebab, menurut studi, minuman siap saji hanya berkontribusi kurang dari tujuh persen dari total konsumsi kalori konsumen Indonesia, sehingga bukan merupakan kontributor utama.
Gagasan pengenaan cukai untuk minuman berpemanis, sebenarnya sudah sempat disuarakan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tepatnya pada 2012 lalu. Kala itu, pemerintah mengajukan skema penetapan cukai minuman berkarbonasi dan berpemanis dengan rentang Rp 1.000 hingga Rp 5.000 per liter, dengan potensi penerimaan negara mulai dari Rp 0,97 triliun sampai Rp 3,95 triliun. Gagasan itu pun sempat ditolak oleh pengusaha, tak terkecuali Asosiasi Industri Minuman Ringan atau Asrim.