Pemeriksaan itu juga mengungkap bahwa Jiwasraya berpotensi menghadapi risiko gagal bayar atas Transaksi Investasi Pembelian Medium Term Note PT Hanson Internasional (HI). Temuan lainnya adalah Jiwasraya dinilai kurang optimal dalam mengawasi reksadana yang dimiliki dan terdapat penempatan saham secara tidak langsung di satu perusahaan yang berkinerja kurang baik.
Menindaklanjuti hasil PDTT Tahun 2016 tersebut, BPK lalu melakukan Pemeriksaan Investigatif Pendahuluan yang dimulai tahun 2018. Hasil pemeriksaan investigatif menunjukkan adanya penyimpangan-penyimpangan yang berindikasi fraud dalam pengelolaan Saving Plan dan lnvestasi.
Selanjutnya, BPK juga mendapat permintaan dari DPR pada tahun 2019 untuk melakukan PDTT atas permasalahan Jiwasraya. Sementara itu dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi pada perseroan, BPK mendapat permintaan penghitungan kerugian negara dari Kejaksaan Agung melalui surat pada 30 Desember 2019.
Setelah mendengar pemaparan Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu, BPK menyimpulkan bahwa telah terjadi penyimpangan atau perbuatan melawan hukum dalam pengumpulan dana dari produk Saving Plan. Demikian pula dengan penempatan investasi Jiwasraya dalam bentuk saham dan reksadana yang bermasalah, sehingga mengakibatkan kerugian negara.
Saat ini, BPK tengah berusaha merampungkan penghitungan kerugian negara akibat kasus PT Asuransi Jiwasraya yang diharapkan kelar dalam dua bulan ke depan. Penghitungan kerugian ini penting karena dibutuhkan untuk kepentingan penuntutan di pengadilan nantinya.
Pengamat asuransi, Irvan Rahardjo, berpendapat bahwa peringatan BPK tentang risiko sistemik Jiwasraya patut menjadi perhatian pemerintah, khususnya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani. “Sebab, kalau sistemik dampaknya berpotensi menimpa industri asuransi dan industri jasa keuangan secara keseluruhan,” ujarnya.