Dengan kembalinya kapal pencuri ikan di perairan Indonesia, kata Abdi, juga mengindikasikan transformasi sistem pengawasan dari Satgas 115 ke Bakamla dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) belum berjalan baik. Dia menduga kemungkinan besar, ketidakhadiran kapal pengawas disebabkan habisnya biaya operasi yang memang sangat terbatas.
Lalu, bagaimana sebetulnya pengamanan laut di ZEE selama ini? Direktur Operasi Laut Badan Keamanan Laut (Bakamla) Nursyawal Embun menjelaskan kronologi pelanggaran atas zona ekonomi eksklusif atau ZEE Indonesia, di perairan utara Natuna, pada 24 Desember 2019.
Bakamla menyebut kejadian ini bermula saat kapal penjaga pantai (coast guard) pemerintah Cina, muncul di perbatasan perairan, pada 10 Desember 2019. "Pada 10 Desember, kami menghadang dan mengusir kapal itu. Terus tanggal 23 kapal itu masuk kembali, kapal coast guard dan beberapa kapal ikan dari Cina waktu itu," ujarnya.
Nursyawal mengatakan pada saat muncul kembali di 23 Desember 2019, coast guard Cina menjaga beberapa kapal ikan yang sudah masuk di dalam ZEE Indonesia. Saat itu, keberadaan mereka diketahui oleh KM Tanjung Datu 301 milik Bakamla. Ketika diusir, kapal Cina menolak dengan beralasan mereka berada di wilayah perairan milik sendiri.
"Karena kita melihat dia ada dua kapal coast guard dan ada satu frigate (kapal perang) di jauh sana, jadi kita hanya shadowing saja. Kita kemudian laporan le komando atas," kata Nursyawal.
Pasca laporan Bakamla tersebut, pemerintah Indonesia lewat Kementerian Luar Negeri telah memanggil Duta Besar Cina untuk Indonesia kemarin. Indonesia melayangkan nota protes keras terhadap pemerintah Cina atas pelanggaran ini.
Kementerian Luar Negeri akhirnya mengonfirmasi adanya pelanggaran atas zona ekonomi eksklusif atau ZEE Indonesia, termasuk kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing. Kementerian tersebut juga mengonfirmasi pelanggaran kedaulatan oleh Penjaga Pantai Cina di perairan Natuna.
Atas pelanggaran tersebut, Kementerian Luar Negeri telah memanggil Duta Besar Cina untuk Indonesia dan menyampaikan protes keras. "Nota diplomatik protes juga telah disampaikan," tulis Kementerian Luar Negeri dalam rilis yang dikeluarkan pada Senin, 30 Desember 2019.
Duta Besar Cina pun telah mencatat sejumlah hal yang telah disampaikan dan akan segera melaporkannya ke Beijing. "Kedua pihak sepakat untuk terus menjaga hubungan bilateral yang baik dengan Indonesia. Kemenlu akan terus lakukan koordinasi erat dengan TNI, KKP dan Bakamla guna memastikan tegaknya hukum di ZEE Indonesia," demikian pernyataan Kemenlu.
Kementerian Luar Negeri kembali menegaskan bahwa ZEE Indonesia ditetapkan berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), dan sebagai salah satu pihak UNCLOS, Cina harus dapat menghormatinya. "Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan Cina. Indonesia tidak akan pernah mengakui nine dash-line Cina karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016," demikian pernyataan Kemenlu.
Namun langkah Kemenlu ini dinilai kurang tegas. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat mendesak pemerintah mengkaji ulang keterlibatan Indonesia dalam inisiatif-inisiatif multilateral yang diinisiasi oleh Cina di forum internasional, seperti inisiatif One Belt One Road. "Berbagai kerjasama yang sedang dalam pembahasan antara Asia Tenggara dengan Tiongkok seperti Regional Comprehensive Economic Partnership harus ditinjau ulang kembali," ujar Anggota Komisi I DPR Charles Honoris.