TEMPO.CO, Jakarta - Jefferson Irwin Jauwena hanya manggut-manggut ketika dua koleganya, Tazar Marta Kurniawan dan Juliandra Nurtjahjo bersahut-sahutan menjelaskan pulihnya hubungan Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air yang sebelumnya retak. Pelaksana tugas Direktur Utama Sriwijaya Air itu irit bicara dalam konferensi pers mendadak yang digelar di kantor pusat Garuda Indonesia, Cengkareng, Selasa siang, 1 Oktober 2019.
Juliandra, yang duduk di antara Jefferson dan Tazar, tampak paling vokal. Direktur Utama Citilink Indonesia ini menjadi pemimpin jalannya jumpa wartawan. Sedangkan Tazar, Direktur Garuda Maintenance Facility alias GMF, menimpali beberapa kali penjelasan Julindra.
Keduanya mengulang-alang alasan seragam soal pencaplokan ulang Sriwijaya oleh Garuda Indonesia Group: “Kami ingin menyelamatkan ekosistem penerbangan.”
Konferensi pers siang itu berjalan satu arah dengan waktu sangat ringkas, hanya 15 menit. Jefferson menutup acara itu dengan ucapan terima kasih, tanpa memberi celah bagi wartawan untuk mengajukan pertanyaan.
Jefferson, Tazar, dan Juliandra melangkah cepat meninggalkan ruang Auditorium di kantor Garuda Indonesia sesaat setelah konferensi pers kelar. Dikerubungi dua puluhan wartawan, ketiganya saat itu kompak bungkam.
Rujuknya hubungan Sriwijaya Air dan Garuda Indonesia merupakan akhir dari pertikaian dua entitas penerbangan. Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan Avirianto menggambarkan, dalam kondisi dilepas Garuda Indonesia, Sriwijaya Air terhuyung-huyung menjalankan armadanya.
Sebelumnya, kondisi keuangan Sriwijaya Air sejak akhir tahun 2018 hingga pertengahan 2019 membaik setelah ada kerja sama manajemen dengan Garuda Indonesia. Keterpurukan Sriwijaya Air terutama terlihat saat perusahaan melaporkan bahwa beban utangnya ke maskapai BUMN membengkak hingga tiga kali lipat lebih banyak dari aset. Setelah digandeng Garuda, perlahan-lahan nilai utang itu surut. Meski belakangan, keuangan Sriwiaya Air kembali melorot.
Hari ke hari, pasokan suku cadang pesawat milik keluarga Chandra Lie itu menipis. “HIRA (Hazard Identification and Risk Assesment atau proses identifikasi dan pengendalian risiko) mereka merah,” kata Avirianto.
Setelah putus kerja sama dengan GMF sebagai penyedia layanan perawatan, perbaikan dan pemeriksaan menyeluruh atau MRO, Sriwijaya Air memang tak lagi punya bengkel pesawat. Direktur Teknik Sriwjaya Air Ramdani Ardali Adang mengatakan maskapai penerbangan terpaksa melakukan perawatan secara mandiri dengan jumlah teknisi terbatas.
Walhasil, kata Ramdani, dengan komposisi yang ada, tiga teknisi yang memiliki kualifikasi andal bisa mengerjakan enam pesawat sekaligus. Komposisi itu tidak ideal.