Hasil pemodelannya, konsentrasi debu halus pembakaran batu bara yang selama ini berembus ke Jakarta ada di angka 15 ug/m3. Nilainya diperkirakan meningkat menjadi 20 ug/m3 apabila pemerintah merealisasikan rencana pembangunan lima PLTU baru dalam radius yang sama. Inilah yang menjadi sumber keresahan Greenpeace Indonesia.
“Artinya kalau lihat Jakarta, dalam kondisi maksimal bisa saja pembakaran PLTU menyumbang 20 ug/m3, ini belum ditambah dari sumber lain,” kata juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Ariyanu.
Membandingkannya dengan baku mutu PM2,5 secara keseluruhan yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, konsentrasi debu halus batu bara sebesar 15-20 ug/m3 itu hampir mencapai 30 persennya. Baku mutu PM2,5 dari Kementerian adalah 65 ug/m3.
Catatan diberikan Bayu bahwa angka baku mutu ketetapan kementerian itu tak pernah diperbarui selama 20 tahun. Dia mengambil pembanding angka yang digunakan WHO. Badan Kesehatan Dunia itu menetapkan ambang batas debu halus di udara harian tak boleh lebih dari 25 ug/m3. “Ini berarti standar nasional masih tiga kali lipat lebih lemah dibandingkan standar WHO. ” kata Bondan.
Data dan indikasi debu batu bara memperkeruh udara Ibu Kota diduga telah sampai pula ke meja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pada awal Juni lalu dia telah lebih dulu mengungkap sumber lain pencemar udara Jakarta di luar sumber yang selama ini dikenal yakni asap kendaraan bermotor.