TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi gusar. Enam kali memimpin rapat terbatas soal investasi, ekspor, dan perpajakan digelar, namun ia masih belum puas dengan eksekusi yang dilakukan menteri-menterinya.
Baca: Minta Impor Disetop, Jokowi: Saya Gak Main-main
Di dalam rapat-rapat itu, Jokowi berkali-kali menyampaikan soal ekspor dan investasi sebagai kunci utama menyelesaikan permasalahan defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan.
"Tolong digarisbawahi, ini adalah rapat yang keenam yang terkait keinginan saya di awal untuk terobosan kebijakan di bidang investasi, ekspor, dan perpajakan," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas mengenai terobosan kebijakan investasi, ekspor, perpajakan di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu, 19 Juni 2019.
Hingga saat ini, ujar Jokowi, kebijakan investasi hingga urusan perizinan yang digelontorkan anak buahnya itu masih belum cukup nendang. "Benar-benar kita mendengar dari kesulitan apa yang dialami para pelaku," kata dia. Sehingga, presiden berharap kebijakan yang berkaitan dengan investasi dan ekspor betul-betul konkrit dan dieksekusi.
Jokowi memang kerap menyinggung nilai investasi dan ekspor Indonesia yang kalah dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Ia mewanti-wanti agar Indonesia tidak sampai disalip oleh Laos.
Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi investasi pada triwulan I 2019 baru mencapai Rp 195,1 triliun atau 24,6 persen dari target tahun ini sebesar Rp 792,0 triliun. Meskipun, capaian itu masih tumbuh 5,3 persen secara tahunan ketimbang realisasi investasi pada periode yang sama 2018, yaitu Rp 185,3 triliun.
Dengan pencapaian tersebut, Kepala BKPM Thomas Trikasih Lembong melihat motor penggerak pertumbuhan seperti konsumsi dan ekspor saat ini masih kurang moncer. Karena itulah, ia mengatakan pemerintah masih mengantongi banyak pekerjaan rumah agar bisa mencapai target investasi dan menopang pertumbuhan ekonomi.
Merespons ketidakpuasan Jokowi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bakal terus mengevaluasi kebijakan investasi, ekspor, dan perpajakan, yang telah digelontorkan. Penilaian itu bakal dilakukan secara terperinci per industri dan per lokasi.
Soal perpajakan, Sri Mulyani berujar presiden punya instruksi khusus. Jokowi telah meminta para menterinya supaya lebih banyak memberikan fasilitas yang tidak hanya sekadar instrumen. Yang diutamakan, adalah program bisa berjalan di lapangan.
Hal ini, kata Sri Mulyani, bisa dilakukan dengan semakin mendorong penerbitan kebijakan insentif fiskal, seperti tax holiday dan tax allowance. Bahkan, ia menyebut pemerintah telah berencana mengubah Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) agar tarifnya lebih rendah.
"Sekarang sedang di-exercise seberapa cepat dan sudah betul-betul harus dihitung rate-nya turun ke 20 persen (PPh Badan atau Perusahaan)," ujar bekas Direktur Bank Dunia itu. "Itu seberapa cepat dan seberapa risiko fiskalnya bisa ditanggung dan bagaimana implementasinya."
Rencana penurunan pajak penghasilan itu, menurut Sri Mulyani, juga sejalan dengan penurunan seperti tax holiday ataupun tax allowance. Oleh karena itu pemerintah tengah mendorong revisi Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 terkait PPh.