TEMPO.CO, Jakarta - Tiga jam seusai rapat umum pemegang saham tahunan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk kemarin digelar, perusahaan pelat merah itu mengumumkan telah merampingkan jajaran komisarisnya. Terhitung empat nama dari tujuh komisaris lawas di perseroan tidak lagi menjabat di posisi lama.
Baca: Garuda Copot Anak Buah CT dari Komisaris, Sikap Trans Airways?
“Dilakukan pemberhentian dengan hormat kepada Agus Santoso sebagai Komisaris Utama, Dony Oskaria, Muzaffar Ismail dan Luky Alfirman sebagai Komisaris,” tulis Garuda dalam siaran tertulisnya, Rabu, 23 April 2019.
Seiring dengan keluarnya empat nama lawas, Garuda Indonesia mengangkat dua nama baru untuk mengisi kekosongan. Kedua nama itu adalah Eddy Porwanto Poo sebagai Komisaris Independen dan Sahala Lumban Gaol sebagai Komisaris Utama. Dengan posisi baru ini, Garuda Indonesia kini hanya memiliki lima komisaris setelah sebelumnya pada posisi yang sama diisi tujuh orang.
Sebelum perampingan komisaris diumumkan dalam RUPST, beredar surat dari dua komisaris lama soal keberatan mereka terhadap laporan keuangan tahunan Garuda Indonesia 2018. Komisaris yang menyatakan tak sepakat dengan pembukuan tersebut adalah Chairal Tanjung dan Donny Oskaria—keduanya dari PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd selaku pemilik 28,08 persen saham Garuda Indonesia.
Surat itu ditulis pada 2 April 2019. Dalam surat tersebut, keduanya menengarai ada kejanggalan soal laporan keuangan yang dicatatkan Garuda Indonesia. Menurut Chairal dan Dony, yang sama-sama meneken surat itu, perseroan dianggap tak sejalan dengan Pernyataan Standar Akutansi Keuangan Negara Nomor 23.
Kedua komisaris masing-masing mewakili PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd yang memegang 28,08 persen saham Garuda, sempat melontarkan surat keberatan kepada direksi. Dalam surat bertanggal 2 April 2018 yang tersebar di publik, keduanya mempersoalkan piutang hasil kerja sama anak Garuda, PT Citilink Indonesia, dan perusahaan penyedia teknologi PT Mahata Aero Teknologi.
Kolaborasi terkait layanan internet dalam pesawat yang disahkan pada Oktober 2018, menghasilkan pendapatan berbentuk piutang sebesar US$ 239,94 juta dari Mahata. Namun, US$ 28 juta dari jumlah itu merupakan bagi hasil, yang justru seharusnya dibayarkan Mahata kepada PT Sriwijaya Air.
Menurut Chairal, pendapatan dari piutang itu membuat emiten berkode GIAA membukukan keuntungan tahun berjalan sebesar US$ 5,018 juta. "Yang apabila tak diakui, perseroan akan mengalami kerugian US$ 244,95 juta," kata Chairal dikutip dari surat tersebut. Adapun laba bersih Garuda diketahui sebesar US$ 809.864 setara Rp 11,5 miliar.
Anggota Dewan Komisaris PT Garuda Indonesia Tbk Chairal Tanjung saat ditemui seusai rapat umum pemegang saham tahunan di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Rabu, 24 April 2019. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Nah, keputusan Garuda Indonesia mengeluarkan Dony dan merampingkan jajaran komisaris itu diduga lantaran adanya surat keberatan tersebut. Saat dikonfirmasi perihal alasan perampingan komisaris, Deputi Jasa Keuangan, Survei, dan Konsultasi Kementerian BUMN Gatot Trihargo enggan angkat suara. “Komisarisnya kan perlu dioptimalkan,” ujar Gatot seusai RUPST di Hotel Pullman, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Gatot menampik surat keberatan anak buat Chairul Tanjung itu menjadi sebab kuat pengurangan jumlah komisaris dari Trans Airways. Ia meyakinkan bahwa pengurangan komisaris yang dilakukan Garuda Indonesia adalah hal yang wajar. “Loh kita saja berkurang juga ya wakilnya (dari) pemerintah. (Wakil pemerintah berkurang) dua, mereka satu,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Dony mengatakan bahwa keluarnya ia dari posisi atap di perseroan disebabkan oleh lama masa kerja. “Kan sudah 5 tahun. Sudah habis masanya,” ujarnya.