TEMPO.CO, Jakarta - Wacana yang dilontarkan kubu Prabowo Subianto – Sandiaga Uno untuk memisahkan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan belakangan ini mencuri perhatian publik. Padahal sejatinya hal tersebut sudah lama dibahas jauh sebelumnya.
Baca: Luhut: Mau Pilih Prabowo atau Jokowi Suka-sukamu, Asal...
Sebelumnya, Anggota Badan Pemenangan Nasional Prabowo – Sandiaga, Haryadin Mahardika, menyebutkan masalah pemisahan Ditjen Pajak sudah sangat mendesak. Pasalnya, saat ini institusi tersebut tidak bisa fleksibel dalam merespons dinamika kebutuhan personel, organisasi, maupun teknologi.
Lembaga itu, menurut Haryadin, juga tidak bisa menentukan anggaran dan sumber daya yang dibutuhkan padahal harus mengurusi perpajakan dengan jumlah penduduk dan perusahaan yang sangat besar di dalam negeri.
Haryadin lantas membandingkan jumlah personel di Ditjen Pajak negara lain. "Bandingkan dengan negara lain yang lebih besar. Idealnya pegawai DJP minimal dua kali lipat jumlah saat ini," ujarnya, Selasa, 2 April 2019.
Direktur Materi dan Debat BPN, Sudirman Said, pada awal Januari lalu menyebutkan pemisahan tidak hanya akan dilakukan pada Ditjen Pajak, namun juga Ditjen Bea Cukai, karena sama-sama berhubungan dengan penerimaan negara. Dengan begitu, tax ratio alias rasio pajak yang pada 2018, baru mencapai 11,5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto atau PDB bisa terdongkrak secara signifikan.
Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto (kiri) berbincang dengan Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Sudirman Said (kanan) saat akan memberikan Pidato Kebangsaan di Semarang, Jumat, 15 Februari 2019. Dalam acara ini, Prabowo memamerkan tim pakar yang berada di belakangnya. ANTARA/Aji Styawan
Nantinya, kedua direktorat ini akan dilebur dalam satu badan khusus penerimaan negara yang langsung bertanggung jawab ke presiden. "Pokoknya segala yang mengurus revenue (pendapatan), seperti Bea Cukai dengan PNBP (Pendapatan Nasional Bukan Pajak), masuk ke situ," kata Sudirman.
Saat ini, rasio pajak 11,5 persen masih di bawah rasio pajak terhadap PDB bagi negara berpendapatan kelas menengah yang ada di kisaran 12 persen. Sementara, rata-rata rasio pajak terhadap PDB di negara maju (OECD) mencapai 13,5 persen. Tapi di 2018 ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah menargetkan rasio pajak bisa mencapai 11,4 sampai 11,9 persen dari PDB.
Dalam perjalanannya, ide pemisahan DJP dari Kemenkeu ini juga sempat muncul dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) alias UU KUP. Selasa, 26 Maret 2019, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengingatkan kembali soal rencana pemisahan DJP ini untuk dijadikan sebuah lembaga baru bernama Badan Penerimaan Pajak. Politikus Partai Golkar ini juga menyebut ide pemisahan ini merupakan salah satu janji kampanye Presiden Joko Widodo alias Jokowi semasa Pemilihan Presiden 2014.
"Belum sempat diwujudkan," kata Bambang saat ditemui usai menghadiri acara "Seminar Nasional" oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di ITS Tower, Jakarta Timur.
Lebih lanjut, Bambang menyebut bahwa DPR sebenarnya sangat mendukung rencana pemisahan ini. Sejalan dengan itu, transformasi Ditjen Pajak menjadi Badan Penerimaan Negara diyakini akan meningkatkan penerimaan negara karena langsung bertanggung jawab kepada presiden. Selain itu, kata dia, ada parameter-parameter yang lebih terukur dalam upaya meningkatkan penerimaan negara.
Tapi, pembahasan di pemerintahan soal pemisahan in sebenarnya sudah berlangsung sejak 5 tahun lalu. Agustus 2014, Pejabat Pengganti Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Pajak saat itu, Wahyu Karya Tumakaka mengatakan pemerintah sudah menggelar satu kali pertemuan di level eselon II untuk membahas rencana pembentukan badan penerimaan negara.