"Penyesuaian tarif harus dilakukan karena diamanatkan undang-undang," kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto di Jakarta, Jumat lalu. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, penyesuaian tarif jalan tol dilakukan dua tahun sekali.
Penyesuaian tarif tol tidak bisa ditunda agar kepercayaan investor terhadap kepastian hukum atas investasi jalan tol tidak berkurang. Kenaikan dihitung berdasarkan laju inflasi selama dua tahjun terakhir. Tapi penyesuaian tarif dilakukan setelah pengelola memberi standar pelayanan minimum.
Baca Juga:
Sementara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera menyelesaikan revisi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, khususnya pasal yang mengatur tarif tol. YLKI menganggap aturan itu cacat dari segi hukum dan ekonomi.
Tuntutan itu disampaikan anggota pengurus harian YLKI Bidang Transportasi, Tulus Abadi, yang dihubungi Tempo, Sabtu (10/7). Menurut Tulus, dalam menaikan tarif tol, pemerintah selama ini berlindung di peraturan itu. Dampaknya, konsumen menjadi dirugikan karena ketidakadilan peraturan tersebut.
“Dalam undang-undang itu ada pasal yang mengatur mengenai penyesuaian tarif tol setiap dua tahun satu kali. Perhitungannya hanya didasarkan pada laju inflasi yang terjadi," kata Tulus. Sementara ketika masyarakat menuntut standar mutu pelayanan, hanya diatur dalam Peraturan Menteri. "Kan tidak adil.”
Baca Juga:
Tulus menilai hal tersebut aneh. Dia menduga ada kolusi antara pemerintah dengan operator jalan tol. “Kenaikan setiap dua tahun sekali ini terlalu memanjakan kepentingan operator dan bahkan investor jalan tol,"
Pemerintah sebenarnya telah berjanji untuk merevisi perundangan tersebut. Namun hingga kini belum ada tindak lanjut mengenai rencana itu. Dia pun berharap, pemerintah segera mengamandemen undang-undang itu, lalu pasal yang mengatur tentang penyesuaian tarif tol itu ditanggalkan dan diturunkan menjadi Perarturan Pemerintah dengan substansi yang lebih adil.
“Perhitungannya memang dengan melihat laju inflasi, tapi bukan berarti ketentuan lain tidak dilihat," katanya. "Dan penyesuaian itu kan tidak harus selalu naik. Bisa saja turun jika kinerja finansial tidak baik dan kinerja operasional tidak memenuhi standar pelayanan minimum.”
Dalam penyesuaian tarif tol di dua ruas, yakni tol Sedyatmo (tol Bandara Soekarno-Hatta) dan Jakarta – Cikampek yang akan berlaku 12 Juli mendatang, Tulus mengaku kecewa lantaran besaran kenaikan melebihi laju inflasi yang terjadi dua tahun terakhir. Menurut dia, Badan Pusat Statistik menyebutkan laju inflasi yang terjadi berkisar di angka 9 persen. Sedangkan kenaikan tarif tol di dua ruas itu berkisar antara 7 hingga 12 persen.
Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto mengatakan kenaikan tarif tol di dua ruas itu sudah sesuai dengan inflasi. Namun karena adanya pembulatan sehingga ada yang nilainya kurang dari laju inflasi ada juga yang melebihi. Tulus mengatakan, dengan adanya tindakan itu konsumen jadi dirugikan. “Mereka mengambil yang enak dan yang menguntungkan," katanya.
Dia mempertanyakan, kenapa pembulatan itu tidak ke bawah atau setidaknya netral. "Kenapa harus konsumen yang dirugikan padahal mereka yang tidak punya kembalian. Itu yang saya bilang cacat secara ekonomi,” ujarnya.
MUTIA RESTY