TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa hari terakhir, harga beras di Indonesia mulai merambat naik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, lonjakan harga beras pada Februari mencapai 18,41 persen secara tahunan.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudory menjelaskan, perubahan iklim, yakni El Nino menjadi salah satu faktor yang paling berdampak bagi petani menanam beras.
“El Nino terasa betul dampaknya di tahun ini, itu membuat musim tanam terlambat,” kata Khudory saat dihubungi Minggu, 3 Maret 2024.
Khudory mengatakan jika dilihat dari siklus normal, petani sudah mulai menanam bulan Oktober tahun lalu dan seharusnya terjadi panen besar sekitar Februari 2024. Angkanya, bisa berbeda-beda di setiap daerah, misalnya 1 juta sampai 3 juta ton. Saat itulah seharusnya terjadi surplus.
“Surplus bulanan itu gini, jadi produksi di bulan itu, dikurangi konsumsi di bulan itu,” kata dia. Sehingga jumlah panen mestinya melebihi dari hasil biasanya.
Sayangnya, panen raya tidak terjadi sesuai bulan yang direncanakan, sehingga menyebabkan paceklik panjang sekitar dua bulan. Itu menjadi salah satu penyebab harga beras naik. Data Badan Pusat Statistik atau BPS menyebutkan, surplus seharusnya terjadi di Maret 2024 nanti, yakni sebesar 0,97 juta ton. Angka itu lebih besar di dua bulan sebelumnya, yakni Januari dan Februari di mana angkanya minus. “Jadi 0,97 juta ton itu, seperti 12-13 hari konsumsi nasional,” kata dia.
Menurut Khudory, surplus itu berpotensi mengakibatkan penurunan harga tapi tidak besar. Setidaknya, ketika tidak terjadi penurunan harga maka harga tidak akan naik lebih tinggi dari sebelumnya.
Selain itu, surplus pertama biasanya akan menjadi rebutan oleh banyak pihak, terutama dari mereka yang selama ini sudah kekurangan gabah, seperti penggilingan, pedagang, penebas, middleman, dan sebagainya. Belum lagi biaya input dan ongkos produksi yang juga naik.
Selanjutnya: Harga Jual Gabah....