TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman RI dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) memiliki pendapat yang berbeda perihal efektivitas harga eceran tertinggi atau HET beras untuk menstabilkan komoditas tersebut. "Kalau tujuannya mau meredam harga beras, buktinya sekarang harga di atas HET semua," ujar anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin, 18 September kemarin.
Adapun HET beras medium adalah Rp 10.900 per kilogram per kilogram (wilayah Jawa, Lampung, Sumsel, Bali, NTB, Sulawesi), Rp 11.500 (Aceh, Sumbar, Sumut, Bengkulu, Riau, Kepri, Jambi, Kep. Babel, NTT, Kalimantan), serta Rp 11.800 (Maluku dan Papua).
Sedangkan HET beras premium adalah Rp 13.900 per kilogram (wilayah Jawa, Lampung, Sumsel, Bali, NTB, Sulawesi), Rp 14.400 (Aceh, Sumbar, Sumut, Bengkulu, Riau, Kepri, Jambi, Kep. Babel, NTT, Kalimantan), dan Rp 14.800 (Maluku dan Papua).
Sementara harga beras per 21 September 2023, dikutip dari panel harga PIHPS BI, mengalami kenaikan. Harga beras kualitas bawah I naik 0,77 persen menjadi Rp 13.150 per kilogram sedangkan beras kualitas bawah II naik 0,39 persen menjadi Rp 12.900 per kilogram. Begitu pula dengan beras kualitas medium I naik 1,06 persen menjadi Rp 14.300 per kilogram, beras kualitas medium II naik 1,08 persen menjadi Rp 14.100 per kilogram, beras kualitas super I naik 0,97 persen menjadi Rp 15.650 per kilogram, dan beras kualitas super II naik 1,01 persen menjadi Rp 15.050 per kilogram. Semua di atas HET beras yang ditetapkan pemerintah.
Yeka melanjutkan, kebijakan HET beras terbukti tidak bisa meredam harga beras yang terus melambung tinggi. Dia pun menyarankan Bapanas mencabut sementara HET beras dan menggantinya dengan HET gabah di tingkat penggilingan.
Namun, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi memiliki pendapat yang berbeda. Dia menilai melonjaknya harga beras disebabkan oleh kurangnya produksi beras dan perlunya penguatan stok yang dikelola pemerintah. Dalam kondisi itu, lanjut Arief, justru HET beras semakin dibutuhkan sebagai patokan pengendalian harga.
"Apabila tidak ada HET, maka kita akan kesulitan melihat dan mengetahui harga beras itu sedang tinggi atau rendah," ujar Arief dalam keterangannya pada Selasa, 19 September 2023.
Tanpa patokan harga, pemerintah akan kesulitan untuk mengetahui kapan mereka mesti melakukan intervensi harga beras. Intervensi yang dia maksud adalah dengan meningkatkan produksi beras, penguatan cadangan beras, serta operasi pasar.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia atau Sekjen DPP Ikappi Reynaldi Sarijowan tampaknya justru sependapat dengan Ombudsman. Menurutnya, selama ini HET beras seolah tidak pernah berfungsi di lapangan. Sebab penjual dan pembeli di pasar, terutama pasar tradisional, lebih banyak mengacu pada kondisi ketersediaan barang dalam transaksi mereka.
"Karena mekanisme pasar akan terbentuk dengan sendirinya," kata Reynaldi pada Tempo, Kamis, 21 September 2023. Jadi, lanjut dia, HET beras itu tak melulu menjadi patokan di pasar tradisional. Karena itu HET beras tidak akan efektif untuk mencegah harga beras meroket di pasar.
Menurut Reynaldi, cara paling efektif untuk mengendalikan harga beras di pasar adalah dengan membanjiri pasar dengan beras pemerintah. Jika pasokan beras melimpah, maka secara otomatis harga beras akan terkendali.
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan Khudori, dalam opininya yang terbit di Koran Tempo pada Rabu kemarin, menyebut kenaikan harga beras merupakan konsekuensi atas kenaikan harga gabah.
HET beras menggunakan patokan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di petani sebesar Rp 5.000 per kilogram dan di penggilingan Rp 5.100 per kilogram. Sedangkan HPP gabah kering giling (GKG) di penggilingan sebesar Rp 6.200 per kilogram dan di gudang Bulog Rp 6.300 per kilogram. Saat ini, harga GKG di tingkat petani sudah di atas Rp 7.000 per kilogram, bahkan menyentuh Rp 7.400 kilogram di beberapa wilayah. Tingginya harga gabah akan secara otomatis mendorong harga beras naik.
"Ketika harga gabah sebagai bahan baku (input) naik, dengan sendirinya harga beras sebagai output produksi juga naik," ujar Khudori.
Menurut dia, HET beras akan lebih mudah dipatuhi jika harga gabah tidak berpotensi melonjak. Tapi, mematok harga gabah secara tetap, seperti penerapan HET gabah, tidak adil bagi petani. Sebab, biaya produksi petani (tenaga kerja, bibit, sewa lahan, pupuk, dan lain-lain) tidak murah dan juga sering kali tidak tetap.
Menurut Khudori, HET beras tetap dibutuhkan, Namun HET beras tidak bisa dijadikan satu-satunya mekanisme pengendali harga beras. "Dalam konteks stabilisasi harga, sejatinya HET merupakan instrumen pemerintah, bukan peranti langsung untuk mengatur pelaku usaha," beber Khudori. "Karena itu, dalam konteks stabilisasi harga beras, HET tidak berdiri sendiri."
Dia menilai, HET adalah pelengkap berbagai instrumen stabilisasi, seperti cadangan, ekspor dan impor, serta harga dasar. HET, lanjut dia, tidak bisa diandalkan sebagai instrumen stabilisasi bila tak ada cadangan beras pemerintah yang setiap saat bisa digunakan untuk mengoreksi kegagalan pasar.
"Agar cadangan aman, penyerapan beras domestik harus dioptimalkan," tutur dia. "Sayangnya, sekarang tak jelas kaitan antara HET dan cadangan beras ataupun instrumen lainnya."
AMELIA RAHIMA SARI | RIRI RAHAYU | RIANI SANUSI PUTRI
Pilihan Editor: Jaminan Utang Kereta Cepat Diteken Pemerintah, Ekonom: Indonesia Masuk Jebakan Utang Cina