Nomor polisi kendaraan di Vietnam versi lama tanpa Pulau Spratly dan Parasel dan versi baru dengan kedua pulau yang terletak di perairan Laut Cina Selatan, [Radio Free Asia]
Sejumlah negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina dan Vietnam telah menyampaikan protes terkait dengan peta baru Cina tersebut. Beijing berharap setiap pihak tidak berlebihan dalam menafsirkan peta baru negaranya.
Oposisi serius datang dari Vietnam dan Filipina, yang mencari bantuan AS untuk mengatasi sikap agresif Cina di area itu.
Alih-alih menyelesaikan masalah, Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam sebuah pesan video pada konferensi yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia pada 3 September lalu, justru meminta negara-negara ASEAN untuk tidak terprovokasi oleh kekuatan luar.
Wang mengingatkan ASEAN untuk menghindarkan "situasi Ukraina" di Asia Tenggara dan jangan mau menjadi bidak kekuatan asing, katanya sambil merujuk ke Washington.
Dia menuding "sejumlah kekuatan eksternal" tengah "menabur perselisihan" di dalam ASEAN untuk mencegah adanya konsensus menyangkut Laut China Selatan.
Kendati demikian, kemarahan negara-negara ASEAN itu memang beralasan.
Di satu sisi, Beijing menyerukan dialog dan konsultasi, tapi di sisi lain semakin agresif mengerahkan kekuatan militer di Laut hina Selatan dan tak henti membangun konstruksi di daerah atau pulau yang disengketakan dengan beberapa negara ASEAN.
Cina juga menjadi pihak yang lebih lamban dalam menerima Pedoman Tata Prilaku (Code of Conduct) di Laut Cina Selatan, ketika seluruh ASEAN sudah lama mengadopsi pedoman itu.
Dalam peta baru kontroversial yang diterbitkan pekan lalu, Cina mempertahankan klaim klasiknya yang disebut sebagai sembilan garis putus-putus [nine-dash-line] di kawasan Laut Cina Selatan.
Hal terbaru dalam peta ini adalah masuknya kawasan laut bagian timur Taiwan sehingga menambah satu garis putus--dari sembilan menjadi 10 garis putus-putus.
10 garis putus-putus dalam peta baru Cina ini juga memperluas klaim atas wilayah laut yang berbatasan dengan Filipina.
Dalam sebuah laporan mengatakan dengan peta baru Cina, akan menguasai seluruh Kepulauan Spratly, yang termasuk di dalamnya Kelompok Pulau Kalayaan (KIG).
Lebih dari 400 warga sipil Filipina, termasuk 70 anak-anak, tinggal di Pulau Pag-asa, seperti dilaporkan Inquirer.
Di kawasan Laut Cina Selatan, batas negara Cina juga mencaplok wilayah sengketa maritim di dalam zona ekonomi eksklusif Malaysia dekat Sabah dan Sarawak, Brunei, Filipina, Indonesia dan Vietnam.
Cina masih berpendirian pada basis sejarahnya sendiri dalam menentukan batas wilayah, khususnya di Laut Cina Selatan menggunakan sembilan garis putus-putus. Cina juga tidak mau menerima putusan Pengadilan Arbitrase Permanen 2016.
Dikutip dari Reuters pada Sabtu pekan lalu, Cina memberi penjelasan terkait dengan 10 garis putus-putus dibandingkan dengan peta sebelumnya yang memiliki sembilan garis putus-putus di peta Internasional. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Wang Wenbin menjelaskan ia tidak ragu dengan wilayahnya.
"Posisi Cina dalam masalah Laut Cina Selatan selalu jelas, otoritas yang berwenang di Cina secara teratur memperbarui dan merilis berbagai jenis peta standar setiap tahunnya," ujarnya dikutip dari Reuters. "Kami berharap pihak-pihak yang memprotes peta baru yang kami rilis ini dapat bersikap objektif dan rasional," tambahnya.
Peta yang dirilis baru oleh Cina sangat berbeda dengan versi lebih sempit yang diserahkan oleh Cina kepada PBB pada 2009 tentang Laut Cina Selatan yang mencakup apa yang disebut nine dash line.