TEMPO.CO, Bangka Belitung - Suhu dan cuaca panas yang melanda wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terutama di Pulau Bangka menjadi ancaman bagi pekerja anak-anak yang mengisi rejeki di area tambang timah.
Meski begitu, cuaca panas menyengat yang tidak seperti biasanya itu sama sekali tidak mengurangi semangat anak-anak di Pulau Bangka melakukan aktivitas mencari pasir timah di tengah penambangan atau yang di Bangka Belitung dikenal dengan istilah "Ngereman".
Salah satu pekerja anak di lokasi Tambang pesisir dan perairan Baskara Bakti Kecamatan Pangkalan Baru Kabupaten Bangka Tengah bernama Andiva mengatakan dua bulan terakhir kegiatannya cukup menguras tenaga dan cepat lelah. Dia menyebut cuaca panas yang menjadi penyebabnya.
"Sudah lama tidak hujan. Cuaca panas. Sekarang setiap sampai rumah langsung tidur. Kalo ke tambang sekarang bawa makanan dan minuman lebih banyak. Kalau minuman habis, kita minta dengan penambang yang ada di ponton," ujar Andiva kepada Tempo, Rabu, 30 Agustus 2023.
Dia menyebutkan jika beberapa teman-teman seusianya beberapa kali sakit sepulang dari lokasi tambang. "Biasanya pusing, muntah-muntah dan batuk. Tapi kalau sudah sembuh kita kembali lagi ke tambang untuk mencari timah," ujar dia.
Menurut Andiva, pekerjaannya mengepul butiran pasir timah sudah dilakukan sejak kelas 1 SD setiap hari liburan atau pulang cepat dari sekolah.
"Kalau dapat pasir timah, langsung saya jual. Uangnya sebagian diberikan kepada ibu dan sebagian buat jajan. Kalau libur seharian bisa dapat 4 sampai 5 kilogram. Setiap kilogram dijual Rp 100 ribu ke penampung. Kalau setengah hari biasanya cuma dapat satu atau dua kilogram," ujar Andiva, Senin, 21 Agustus 2023.
Andiva menuturkan dia dan teman-temannya berangkat dari rumah sekitar pukul 09.00 WIB dan baru pulang sore hari atau malam hari. Tidak tentunya jadwal pulang, kata dia, karena tergantung dengan hasil timah yang didapat dan waktu kepulangan ojek kapal yang biasa ditumpangi.
"Kalau ada yang bekerja dipinggir, kita dipinggir saja. Tapi kalau tidak, kita ke ponton ditengah laut dengan menumpang ojek kapal yang disewa penambang untuk mengantarkan alat tambang atau makanan. Tidak bayar kalau numpang ojek kapal," ujar dia.
Kondisi cuaca panas yang dihadapi para pekerja anak di tambang timah, itu sebenarnya sudah diketahui oleh para orang tua anak. Namun faktor ekonomi dan biaya keperluan sekolah anak menjadi salah satu alasan membiarkan anak-anak tetap bekerja di tambang.
Asnah salah satunya. Perempuan berusia 55 tahun dan tinggal di Kecamatan Pangkalan Baru itu mengatakan tidak membiarkan begitu saja anaknya terkena cuaca panas saat di lokasi tambang karena sudah mempersiapkan berbagai persiapan.
"Saya selalu menyiapkan baju lengan panjang, topi dan makanan serta minuman yang lebih. Jadi tidak terkena panas langsung. Kadang-kadang saya sisipkan juga beberapa obat-obatan dan balsem atau minyak kayu putih buat berjaga-jaga," ujar dia.
Asnah mengaku cukup khawatir dengan kondisi anaknya di lokasi tambang. Selain karena kesehatan, kata dia, ancaman resiko di sekitar lokasi tambang juga berbahaya terutama di laut.
"Saya tahu dan sadar dengan resiko yang dihadapi. Namun apa daya kondisi kami memaksakan untuk itu. Terlebih suami yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan tidak memungkinkan mencari nafkah lagi. Bagi saya, anak-anak harus tetap sekolah meski mereka bekerja. Paling tidak sampai tamat SMA. Tidak boleh putus sekolah dan memilih bekerja," ujar dia.
Dinas Kesehatan Bangka Belitung menyatakan cuaca panas yang dihadapi anak-anak tersebut bisa menimbulkan beberapa masalah kesehatan yang disebabkan karena perubahan kondisi lingkungan.
"Keadaan cuaca panas dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga anak akan mudah terserang penyakit. Beberapa masalah penyakit yang bisa muncul diantaranya adalah diare, infeksi saluran pernafasan akut, penyakit mata dan DBD," ujar Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Bangka Belitung Hastuti.
Penyakit yang timbul tersebut, kata Hastuti, bisa dirasakan mulai dari gejala ringan hingga berat tergantung daya tahan tubuh penderita. Kondisi lain yang dapat terjadi, kata dia, adalah terkena sengatan panas atau heat stroke.
"Ini disebabkan karena tubuh tidak dapat mengontrol panas tubuh, yang ditandai dengan suhu badan yang tinggi atau lebih dari 39,5 derajat celcius, kulit kering, panas dan merah, nadi cepat dan kuat, sakit kepala, pusing dan muntah," ujar dia.
Hastuti memberi peringatan kepada para pekerja di lapangan khususnya anak-anak untuk mewaspadai gejala serangan langsung sinar matahari yang ditandai dengan keringat berlebih, kulit terasa panas dan kering, rasa berdebar atau jantung berdetak lebih cepat, kulit pucat, kram pada kaki maupun abdomen, mual, muntah, pusing dan air kencing yang sedikit dan berwarna kuning pekat.
"Jika menemui gejala seperti ini, segera bawa ke fasilitas kesehatan terdekat seperti puskesmas atau rumah sakit untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan lebih lanjut," ujar dia.
Hastuti juga meminta anak-anak untuk melakukan antisipasi awal dengan mencukupi kebutuhan air harian dalam tubuh, menggunakan masker, serta mengkonsumsi vitamin untuk menghindari paparan penyakit.
"Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah mencegah dehidrasi dengan minum air yang banyak. Hindari minuman berkafein, minuman berenergi, alkohol, minuman manis dan kontak dengan sinar matahari secara langsung. Pakailah baju berbahan ringan dan longgar serta tidak berwarna gelap agar tidak menyerap panas," ujar dia.
Kondisi suhu panas di Bangka Belitung tersebut sudah dianalisa oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pangkalpinang dan Koba. Hasil analisis menunjukkan suhu panas yang melanda Bangka Belitung tertinggi mencapai mencapai 31,7 derajat sampai 33,6 derajat.
"Sedangkan suhu terendah yang tercatat berkisar antara 23,6 derajat hingga 26,4 derajat. Untuk kecepatan angin maksimal yang pernah tercatat adalah 16,1 kilometer per jam dan terendah 11,4 kilometer per jam," ujar Koordinator Bidang Data dan Informasi BMKG Pangkalpinang Kurniaji, Senin, 21 Agustus 2023.
Cuaca panas tersebut, kata Kurniaji, disebabkan angin monsun yang bertiup saat ini adalah monsoon tenggara atau Australia yang cenderung bersifat kering dan panas. Selain itu, kata dia, jarangnya hujan turun juga menyebabkan kelembapan menjadi rendah.
"Hasil analisa terakhir dapat kami sampaikan bahwa saat ini Bangka Belitung sedang berada di puncak musim kemarau. Diperkirakan akan berakhir pada Oktober akhir dan musim penghujan mulai pada November akhir," ujar dia.
Namun Kurniaji membantah jika cuaca panas ekstrem yang terjadi di Bangka Belitung saat ini dikarenakan perubahan iklim. Hal tersebut, kata dia, belum ada penelitian yang komprehensif untuk membuktikan bahwa cuaca panas karena terdampak perubahan iklim.
"Perubahan iklim baru dapat dibuktikan melalui penelitian yang komprehensif dengan waktu yang panjang. Terlalu dini jika menyebutkan bahwa panas yang kita rasakan saat ini adalah bukti terjadinya perubahan iklim," ujar dia.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana DP3ACSKB Bangka Belitung, Asyraf Suryadin mengatakan problematika sosial pekerja anak di lokasi tambang telah lama terjadi disebabkan faktor budaya, lingkungan, ekonomi dan membantu orang tua.
"Anak usia sekolah sudah terbiasa bermain di lokasi penambangan timah dan melihat orang tuanya bekerja. Beberapa diantara mereka bahkan sudah ikut terlibat langsung. Untuk faktor ekonomi sebenarnya bukan faktor utama namun tetap berkontribusi karena tidak terdapat keluarga keluarga miskin yang mencolok terlihat memiliki kehidupan yang memprihatinkan. Faktor yang paling banyak adalah membantu orang tua," ujar dia.
Dikatakan Asyraf, perkembangan fisik dan sosial anak pekerja tambang cukup terganggu karena memiliki pola pikir yang sudah jauh berbeda dengan anak lain yang seusia.
"Selain kesehatan, resiko yang dihadapi pekerja anak diantaranya tertimpa longsor tambang, luka-luka ,tenggelam, sesak nafas, luka laserasi dari peralatan pertambangan, dan paparan kebisingan. Paparan inhalasi kronis terhadap debu tambang dan partikel menyebabkan silikosis dan kemungkinan kanker paru-paru. Anak juga dapat terpapar berbagai bahaya beracun, terutama terpapar radioaktif dari bahan uranium," ujar dia.
Pilihan Editor: LRT Jabodebek Dipuji Jokowi dan Para Menteri, Masyarakat: Rem Kurang Halus