TEMPO.CO, Medan - Rumah mewah di lahan seluas 600 meter di Jalan Sena di kawasan perumahan Komplek Cemara Asri, Medan itu tampak sepi. Pintu pagar rumah milik Mujianto, terpidana kasus kredit macet Bank Tabungan Negara (BTN), itu tertutup rapat. Tidak tampak ada aktivitas di sana.
“Mujianto jarang ke mari dan jarang sekali terlihat,” ujar salah satu petugas keamanan yang berjaga di pintu gerbang perumahan tersebut pada Senin, 31 Juli 2023. Enggan disebut namanya, petugas tersebut sempat berdiskusi melalui walkie talkie dengan penjaga rumah Mujianto lantas melarang Tempo untuk mendekati rumah Direktur PT Agung Cemara Realty (PT ACR) itu. “Saya hanya menjalankan tugas saja,” ujarnya sambil menghalangi Tempo masuk.
Pertengahan Juni lalu, putusan kasasi Mahkamah Agung menyatakan Mujianto bersalah dalam kasus kredit macet di Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Medan. Putusan yang dilansir dari website MA pada 20 Juni 2023 menyebut Mujianto terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dia juga melanggar Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Mahkamah Agung menghukum Mujianto membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 13,4 miliar dengan subsider empat tahun penjara. Namun, putusan tersebut tidak kunjung dieksekusi oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara hingga Mujianto tiba-tiba menghilang pada awal Juli lalu.
Raibnya Mujianto membuat Kejaksaan kelimpungan. Mereka mendatangi kantor PT ACR di Jalan Sudirman Nomor 29, Kecamatan Medanmaimun, Kota Medan. Namun pulang dengan dengan tangan kosong. Bahkan Kejaksaan sempat terbang ke Jakarta untuk mendatangi rumah Mujianto lainnya di Jalan Prisma 1, Blok B2/10 Kelurahan Kebon Jeruk, Kota Jakarta Barat. Hasilnya pun nihil.
"Kami akan tetap mencari Mujianto.Di mana pun akan diburu,” ujar Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Yosgernold Tarigan.
Terjerat Perkara Kredit Macet
Mujianto Alias Anam menjadi salah satu terdakwa dalam perkara kredit macet di Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Medan yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 39,5 miliar. Dia didakwa melanggar Pasal 2 subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dia juga dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-2 KUHP jo Pasal 5 ke-1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Pada 18 November 2022, Jaksa Penuntut Umum Isnayanda menuntut Mujianto pidana penjara sembilan tahun serta denda Rp 1 miliar dengan subsider satu tahun kurungan. Mujianto juga diminta membayar uang pengganti Rp 13 miliar.
Namun, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Medan berpendapat lain. Majelis hakim Tipikor yang dipimpin Sony Immanuel Tarigan justru menyatakan Mujianto tidak bersalah dan menetapkan vonis bebas pada 23 Desember 2022.
Kejaksaan lantas mengajukan kasasi atas putusan tersebut ke Mahkamah Agung. Hasilnya, Mahkamah Agung menyatakan Mujianto bersalah dan harus mengembalikan kerugian negara.
Rurita Ningrum, hakim ad hoc perkara Mujianto, enggan memberi tanggapan mengenai putusan Mahkamah Agung terhadap Mujianto. Sedangkan Sony Immanuel mengatakan bahwa putusan di tingkat yang lebih tinggi atau Mahkamah Agung yang menjadi pedoman di perkara Mujianto.
Mengaku Sakit Lalu Raib
Mujianto tampaknya sudah berencana untuk kabur. Beberapa pekan setelah ketetapan kasasi Mahkamah Agung, Mujianto melalui penasehat hukumnya, Surepno Sarfan, mengajukan surat permohonan pengunduran waktu eksekusi ke Kejaksaan. Dalam surat tertanggal 5 Juli 2023 itu Mujianto mengaku sedang sakit dan perlu berobat.
Dia berjanji akan kooperatif memenuhi pelaksanaan eksekusi jika sudah menerima salinan putusan MA dan pulih kesehatannya. Namun, Mujianto tidak memenuhi janjinya. Alasan sakit yang dia sampaikan hanya kedok untuk kabur dan menghilang.
Saat dikonfirmasi, Surepno Sarfan mengaku sudah memberi pandangan dan nasihat supaya Mujianto tidak kabur. “Karena kalau kabur dari proses hukum situasi dia akan lebih sulit. Dan saat itu Mujianto menerimanya,” ujar Surepno.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan Irvan Saputra mengkritik kinerja Kejaksaan yang tidak segera melakukan eksekusi putusan Mahkamah Agung. Menurut Irvan, kelonggaran yang diberikan Kejaksaan itu yang selanjutnya dimanfaatkan Mujianto untuk kabur.
Menurut Irvan, semestinya Kejaksaan sigap menjalankan putusan Mahkamah Agung. Apalagi, imbuh Irvan, perkara Mujianto adalah kasus korupsi yang semestinya menjadi prioritas penanganan kejaksaan. "Kaburnya Mujianto menjadi preseden buruk penegakan hukum di Sumatera Utara," kata Irvan.
Yudi Pratama dari Sentra Advokasi Hak Dasar Rakyat (SAHdaR) mengatakan putusan Mahkamah Agung yang mewajibkan Mujianto mengembalikan kerugian negara sudah tepat. "Mestinya kejaksaan segera mengeksekusi putusan kasasi tersebut agar memberi efek jera Mujianto dan pelaku korupsi dengan modus yang sama di sektor perbankan. Sayang itu tidak dilakukan sehingga terpidana punya kesempatan kabur," katanya.
Koordinator SAHdaR Ibrahim Puteh mendesak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk lebih serius memburu Mujianto. “Apalagi ini bukan pertama kali Mujianto terjerat perkara pidana. Jangan sampai muncul kesan di masyarakat bahwa penegakan hukum tidak bisa menyentuh konglomerat,” ujarnya.
Jejak Kelam Mujianto
Selain perkara kredit macet di BTN Cabang Medan, Mujianto juga pernah terjerat persoalan hukum lain. Pada 2015, Mujianto pernah terlibat kasus penjualan tanah eks HGU di Pasar 4, Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, Kabupaten Deli Serdang, Sumut. Perusahaan Mujianto, PT ACT yang membangun dan menjual rumah toko di lahan tersebut. Namun, Mujianto tidak tersentuh hukum.
Selanjutnya pada 2018, Mujianto kembali berurusan dengan kepolisian. Dia pernah dilaporkan ke Kepolisian Daerah Sumatera Selatan karena kasus dugaan penipuan lahan. Saat itu Mujianto sempat menjadi buronan polisi dan tertangkap di Cengkareng, Jakarta Barat.
Tetapi, setelah berkas dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, penahanan terhadap Mujianto justru ditangguhkan. Alasan Kejaksaan saat itu, Mujianto memberikan uang jaminan Rp 3 miliar. Kasus tersebut juga lantas dihentikan karena dianggap tidak cukup bukti.
"Ini bukti kesaktian Mujianto. Apakah kesaktiannya akan berlanjut di kasus kredit macet BTN? Jawabannya tergantung kepada keseriusan para penegak hukum,” ujar praktisi hukum Muslim Muis.
***
Liputan ini adalah kerja sama Tempo dengan Klub Jurnalis Investigasi (KJI), Tribun Medan, dan LBH Medan.
Pilihan Editor: Pelaku Pembunuhan Mahasiswa UI Terlilit Pinjol, Begini Kata OJK