Bhima menyebut dari total 4 juta PNS, jika satu orang menanggung empat anggota keluarga, maka ada banyak sekali suara yang bisa diraih dalam Pemilu nanti. Karena itu, ia memperingatkan jangan sampai pemerintah menggunakan instrumen belanja pegawai untuk mendorong belanja konsumtif menjelang kontestasi politik ini.
Terlebih, anggaran belanja pegawai sepanjang 2019 hingga 2023 sudah mengalami kenaikan sebanyak 17,5 persen. Tercatat mulai 2019, gaji PNS telah naik dari Rp 376 triliun menjadi Rp 442 triliun pada 2023.
Dalih kenaikan gaji PNS demi melindungi Indonesia dari kenaikan inflasi, menurutnya, juga tidak tepat. Pasalnya, ia menilai tujuan itu seharusnya sudah diakomodir dalam berbagai tunjangan, termasuk gaji PNS ke-13.
Menurut Bhima, kenaikan gaji PNS justru berpotensi membuat defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) semakin melebar. Pasalnya, Bhima menilai masalah utama anggaran kini terletak pada beban belanja pegawai yang terlalu gemuk. Alhasil, membuat ruang fiskal jadi menyempit.
Apalagi, menurut Bhima, masih banyak kebutuhan anggaran yang lebih mendesak ketimbang penambahan gaji pegawai. Kebutuhan yang mendesak itu di antaranya adalah pemberian bantuan sosial atau bansos. Ketimbang menaikkan gaji PNS, menurutnya, pemerintah perlu meningkatkan bansos bagi lapisan masyarakat rentan dan miskin.
Bhima juga menyarankan agar anggaran tersebut sebaiknya dialokasikan untuk mempersiapkan bantuan subsidi pupuk yang memadai. Terlebih, akan terjadi fenomena El Nino yang akan berdampak pada pertanian dan pasokan pangan di Tanah Air.
Ditambah masih banyak sektor usaha yang membutuhkan stimulus dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Salah satunya adalah industri padat karya tekstil dan alas kaki. Seperti diketahui, kedua industri tersebut hingga kini masih terdampak pandemi Covid-19 dan krisis global. Kondisi itu membuat perusahaan, khususnya yang berorientasi ekspor, tumbang lantaran anjloknya pesanan dari Eropa dan Amerika. Dampaknya, masih terus terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran.
Selain diduga bersifat politis, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menilai perombakan formula tukin justru menimbulkan ketidakadilan bagi PNS. Musababnya, kebijakan tersebut menghasilkan perolehan tukin yang sangat beragam dan cenderung timpang antar PNS.
Yusuf menjelaskan fenomena ketimpangan tukin ini nantinya akan memunculkan sebutan kementerian atau pemda "Sultan". Misalnya, Yusuf memberi contoh tukin PNS di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terutama Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai.