TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Thailand akan menentukan masa depan negerinya dalam pemilihan umum yang digelar Minggu, 14 Mei 2023. Perdana menteri inkumben, Prayuth Chan-o-Cha, yang merebut kekuasaan melalui kudeta 2014, harus bekerja keras melawan politisi oposisi muda usia Pita Limjaroenrat dan juga Paetongtarn Shinawatra.
Dalam jajak pendapat yang diumumkan 5 Mei lalu, Pita Limjaroenrat, 42 tahun, pemimpin karismatik dari Partai Move Forward, mengungguli Paetongtarn Shinawatra dari oposisi utama Pheu Thai, dengan dukungan 29,37% versus 27,55% dalam survei nasional oleh grup media Nation.
Prayuth dari Partai United Thai Nation, yang didukung militer, hanya mendapat dukungan 8,5 persen, bahkan di bawah calon alternatif Pheu Thai, Sretha Thavisin, yang mendapat 13,28 persen.
Hasilnya mengikuti jajak pendapat terbaru oleh National Institute of Development Administration (NIDA), yang juga menempatkan Pita, lulusan Harvard, di depan Paetongtarn untuk pertama kalinya, karena Move Forward - sebuah partai yang populer di kalangan anak muda Thailand - tertinggal dalam beberapa survei.
Baik NIDA dan Nation, yang masing-masing mensurvei 2.500 dan 114.000 orang, sekarang menunjukkan Pheu Thai, raksasa populis yang telah memenangkan setiap pemilu sejak 2001, diikuti oleh Move Forward, sebagai pemimpin sebelum pemungutan suara 14 Mei, masing-masing dengan dukungan sekitar tiga kali lipat dari partai Persatuan Bangsa Thailand pimpinan Perdana Menteri Prayuth Chan-o-Cha.
Kedua jajak pendapat menunjukkan partai Palang Pracharat yang pro-militer, Demokrat dan Bhumjaithai - mitra koalisi saat ini - tertinggal jauh dari oposisi.
Politikus baru Paetongtarn, 36 tahun, putri dan keponakan dari dua mantan perdana menteri Thailand yang digulingkan dalam kudeta militer, memimpin sebagian besar jajak pendapat tahun ini tetapi mengambil cuti dari kampanye untuk melahirkan anak keduanya, yang lahir Senin lalu.
Sebagian besar ahli percaya Pheu Thai perlu membentuk aliansi untuk memerintah dan Paetongtarn pada hari Rabu mengisyaratkan dapat bermitra dengan Move Forward dan mengesampingkan partai-partai yang didukung militer.
Pita Limjaroenrat, Ketua Partai Maju, oposisi Thailand. REUTERS/Chalinee Thirasupa
Ancaman kecurangan
Komisi pemilihan Thailand berada di bawah pengawasan setelah munculnya keluhan meluas dalam pemungutan suara awal. Hal ini memicu kekhawatiran di media sosial tentang kompetensi badan yang ditunjuk pemerintahan militer itu.
Jaringan Rakyat untuk Memantau Pemilu, sebuah aliansi organisasi non-pemerintah, mengatakan telah menerima sekitar 300 keluhan selama pemungutan suara awal hari Minggu, termasuk nama hilang dari daftar pemilik suara, suara oleh orang yang salah, serfta surat suara salah dan daftar kandidat tidak lengkap di tempat pemungutan suara.
Thailand mengadakan pemilihan pada 14 Mei yang dapat mengakhiri sembilan tahun pemerintahan yang dipimpin atau didukung oleh militer sejak menggulingkan pemerintah terpilih pada tahun 2014, dalam kudeta kedua dalam waktu kurang dari delapan tahun.
Komisi Pemilihan Thailand (ECT) mengatakan telah menerima 92 pengaduan dan penyelidikan sedang berlangsung. Mereka berjanji bahwa kesalahan serupa tidak akan terulang pada hari pemilihan.
Kontes tersebut secara luas mengadu partai-partai koalisi yang berkuasa yang memiliki ikatan dengan tentara dan kaum royalis melawan gerakan oposisi yang telah memenangkan setiap pemilihan dalam dua dekade terakhir namun digulingkan dengan tiga kali kudeta.
Paetongtarn Shinawatra dan Prayuth Chan-ocha (Foto REUTERS)
Pekerjaan rumah bersama: Utang melambung
Masalah nyata yang dihadapi sekarang adalah sepertiga dari masyarakat Thailand terlilit utang. Bahkan negeri Gajah Putih ini memiliki utang rumah tangga terhadap rasio produk domestik bruto (PDB) tertinggi di Asia - hanya di belakang Korea Selatan dan Hong Kong, menurut peringkat Bank for International Settlements.
Masalah ini menjadi isu utama dalam pemilihan umum 14 Mei dan semua partai besar menjanjikan kenaikan upah atau moratorium utang, selain pinjaman tanpa jaminan.
Pita Limjaroenrat, yang mengusulkan revisi upah minimum tahunan, mengatakan dia akan berupaya memperbaiki masalah ketimpangan. "Jika Anda menghitungnya, itu sekitar 1% di atas dan 99% di bawah," kata Pita. "Begitu Anda berhutang, sangat sulit bagi Anda untuk naik tangga."
Bank sentral Thailand mencatat, pada Februari tingkat utang rumah tangga harus diturunkan dari 86,9% dari PDB pada akhir tahun 2022 menjadi di bawah 80% untuk membantu mengurangi risiko keuangan.
Beban utang dimulai lebih awal bagi banyak orang Thailand dan dapat bertahan seumur hidup. Sekitar 58% orang berusia 25 hingga 29 tahun mulai berutang, dan seperempat orang berusia di atas 60 tahun memiliki pinjaman, rata-rata lebih dari 400.000 baht (Rp177 juta), menurut data bank sentral.
Secara keseluruhan, sekitar 30% dari mereka yang memiliki kartu kredit atau pinjaman pribadi memiliki utang gabungan 10-25 kali lipat dari pendapatan mereka, dua kali lipat dari standar internasional, menurut bank.
Meskipun menjadi masalah yang sulit selama bertahun-tahun, keadaan lebih buruk sejak pandemi Covid-19 yang membuat jumlah rekening kredit macet hampir dua kali lipat menjadi 10 juta, menurut bank sentral.
REUTERS
Pilihan Editor Mendulang Cuan dari Kunjungan Wisatawan di Momen Libur Lebaran 2023