Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Tak Ada Efek Jera Hukuman Disiplin di Kasus Transaksi Janggal Rp 349 Triliun

image-gnews
Menko Polhukam yang juga Ketua Komite Koordinasi Nasional PP TPPU Mahfud MD (kiri) berbincang dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani (kanan) saat mengikuti rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa 11 April 2023. Rapat tersebut membahas tentang laporan hasil rapat Komite Nasional TPPU terkait perkembangan isu transaksi keuangan mencurigakan di Kementerian Keuangan dengan nilai Rp349 triliun. ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Menko Polhukam yang juga Ketua Komite Koordinasi Nasional PP TPPU Mahfud MD (kiri) berbincang dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani (kanan) saat mengikuti rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa 11 April 2023. Rapat tersebut membahas tentang laporan hasil rapat Komite Nasional TPPU terkait perkembangan isu transaksi keuangan mencurigakan di Kementerian Keuangan dengan nilai Rp349 triliun. ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana duduk bersama saat rapat kerja bersama anggota Komisi III DPR RI, kemarin. Ketiganya menghadap wakil rakyat untuk memberikan klarifikasi soal data informasi transaksi janggal senilai Rp Rp 349.874.187.502.987 atau Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan.

Sri Mulyani menegaskan bahwa pihaknya telah memberikan hukuman disiplin terhadap 193 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu yang berkaitan dengan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun periode 2009-2023 yang datanya bersumber dari 300 surat PPATK. Namun, yang diterima Kemenkeu hanya 200 surat, di antaranya 186 surat sudah ditindaklanjuti.

“Itu periode 2009-2023, karena ada berita yang menunjukan seolah-olah tahun ini saja 193 pegawai. Ada juga yang ditindaklanjuti aparan penegak hukum (APH),” ujar dia di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, pada Selasa, 11 April 2023.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, melihat bagaimana perjalanan ramainya transaksi yang diduga tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu. PPATK, kata dia, menyampaikan data transaksi tersebut ke Inspektorat Jenderal Kemenkeu untuk ditindaklanjuti.

“Problemnya kan tidak ada tindak lanjut secara serius. Sehingga terjadi akumulasi anggaran yang berapa tahun itu. Harusnya begitu ada laporan dan sebagainya tindak lanjut itu yang diperlukan. Menurut saya disini yang lemah. Kebetulan Pak Mahfud berani ngomong begitu,” kata dia melalui sambungan telepon.

Meski Sri Mulyani sudah menjelaskan ada tindak lanjut dan sudah ada yang dikenai hukuman disiplin, menurut Tauhid, tapi itu tetap berulang kali terjadi setiap tahun. Artinya tidak efektif dari segi tindak lanjut itu dan tidak dibuka ke publik.

“Apakah diturunkan jabatannya? Ataupun disanksi, dipindah, kalau pun dipecat kan enggak ada. Harusnya tindak lanjutnya berat dong (memberikan efek jera). Publik kan enggak tahu seolah-olah diam begitu, ya susah,” ucap Tauhid.

Secara pribadi, Tauhid pun menyarankan jika ada tindak lanjut, ada sanksi, dan sebagainya perlu disampaikan ke publik, sehingga ada efek jera. “Siapa sih yang kena.” Jika kejadiannya berulang, berarti sistemnya lemah dan tidak membuat jera. Nyatanya, dia berujar, setiap tahun terjadi.

“Kalau sudah begini kan orang harusnya enggak boleh namanya petugas pajak membuat perusahaan konsultan pajak, ini berulang sampai terakhir ketangkap. Berarti kan buat apa tindak lanjut yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya,” tutur Tauhid.


Rincian 300 Surat PPATK

Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI kemarin, Sri Mulyani merinci 300 surat PPATK yang dikirimkan ke Kemenkeu pada 13 Maret. Surat tersebut periode 2009-2023. Oleh Sri Mulyani, surat tersebut kemudian diteliti. Hasilnya adalah surat pada 2009, jumlahnya ada 6 dengan nilai transaksi Rp 1,9 triliun.

Namun, hanya 4 surat yang dirikimkan kepada Kemenkeu dengan nilai transaksi Rp 2,1 miliar. Dua surat lainnya dikirimkan ke APH lain nilainya Rp 1,968 triliun. “Kalau dilihat keempatnya yang dikirim ke kita sudah di-follow-up dan jumlah hukuman disiplin kepada pegawai Kemenkeu ada 3 orang,” kata dia.

Pada 2010, ada 41 surat dengan nilai transaksi Rp 736,3 miliar. Dari 41 surat itu ternyata hanya 21 yang dikirim ke Kemenkeu nilainya Rp 237,9 miliar dan 21 surat lainnya ke APH lain nilainya 498,4 miliar. Srat tersebut, dia berujar, sudah pula dilakukan follow-up dan memberikan hukuman disiplin kepada 24 pegawai, satu orang ditindak oleh APH. “Ini biasanya kalau menyangkut korupsi bisa dibawa ke APH.”

Selanjutnya, 2021, jumlahnya 48 surat dengan nilai Rp 352,6 miliar, tapi hanya 31  surat yang dikirimkan ke Kemenkeu yang nilainya Rp 314,2 miliar. Sementara 17 surat dikirim ke APH lain dengan nilai Rp 38,2 miliar. “31 surat itu sudah di-follow up, ada 5 orang pegawai dapat hukuman disiplin, 2 orang ditindaklanjuti oleh APH,” ucap dia.

Bendahara negara melanjutkan, pada 2012 hanya ada 5 surat dengan nilai transaksi Rp 11,1 miliar, 4 di antaranya yang dikirimkan ke Kemenkeu nilai transaksinya Rp 10,4 miliar. Sisanya dikirim ke APH lain senilai Rp 680 juta. Empat surat tersebut, menurut Sri Mulyani, sudah ditindaklanjuti juga.

“Tapi belum ditemukan indikasi pelanggaran, namun informasi dari PPATK kami gunakan sebagai data profiling dari yang bersangkutan,” kata dia.

Pada 2013, kata dia, juga ada 5 surat dengan nilai transaksi Rp 2,6 triliun. Namun hanya ada 3 surat yang diterima Kemenkeu dengan nilai transaksi Rp 65,8 miliar, dan 2 surat dikirim ke APH senilai Rp 1,5 triliun. Tiga-tiganya, menurut Sri Mulyani ditindaklanjuti, tapi belum ditemukan indikasi pelanggaran.

Kemudian, 2014, jumlahnya cukup besar, ada 19 surat dari PPATK dengan nilai transaksi Rp 55,5 triliun. Yang diterima Kemenkeu hanya ada 12 surat dengan nilai transaksi Rp 4,01 triliun, dan 7 surat ke APH lain nilainya 51,5 triliun. “Semuanya sudah ditindaklanjuti ada 13 pegawai yang dapat hukuman disiplin,” tutur dia.

Tahun berikutnya, 2015, ada 13 surat PPTAK dengan nilai transaksi Rp 2,7 triliun. Tapi hanya ada 9 surat yang dikirimkan ke Kemenkeu dengan nilai Rp 1,9 triliun, dan 4 surat ke APH lain senilai Rp 783,8 miliar. “Oleh Kemenkeu di-follow up, 8 orang terkena hukuman disiplin.”

Pada 2016 ada 29 surat dengan nilai transaksi Rp 4,1 triliun. Ada 20 surat yang dikirimkan ke Kemenkeu nilainya Rp 3,7 triliun, dan 9 surat lainnya ke APH lain senilai Rp 402 miliar. Menurut Sri Mulyani, dari surat yang diterima Kemenkeu  ada 8 orang terkena hukuman disiplin.

Berikutnya, 2017, jumlah surat PPATK ada 30 dengan nilai transaksi Rp 20,9 triliun. Di antaranya 24 surat dikirim ke Kemenkeu nilainya Rp 20,6 triliun. Dari surat itu Kemenkeu menindaklanjuti sebanyak 17 pegawai yang dilakukan hukuman disiplin, serta ada 3 orang ditindaklanjuti APH lain. Sementara surat lainnya ada 6 yang dikirimkan ke APH lain dengan nilai Rp 278,5 miliar.

Kemudian pada 2018, ada 18 surat nilai transaksi Rp 12,5 triliun. Dari jumlah itu, 12 surat yang dikirimkan ke Kemenkeu nilainya Rp 5,9 triliun. Oleh Kemenkeu sudah 10 surat yang ditindak lanjuti dengan 5 pegawai yang terkena hukuman disiplin, serta 1 ditindaklanjuti oleh APH. Sementara 6 surat lainnya dikirimkan ke APH lain nilainya Rp 6,6 triliun.

Sama dengan 2018, pada 2019 juga ada 18 surat PPATK nilai transaksi Rp 4,8 triliun. Yang dikirim ke Kemenkeu hanya 12 surat nilainya Rp 4,7 trilun. Di antaranya 10 surat di followup, ada 5 pegawai yang terkena hukuman disiplin, dan satu ditindaklanjuti oleh APH lain. “Enam surat lainnya dikirim ke APH lain nilainya Rp 139 miliar,” ujar Sri Mulyani.

Dia melanjutkan, pada 2020, ada 28 surat PPATK dengan nilai transaksi Rp 199,4 triliun. Ada 23 surat yang dikirim ke Kemenkeu nilainya Rp 199,3 triliun. Dari 23 surat itu, 20 surat ditindaklanjuti dengan 44 pegawai yang mendapatkan hukuman disiplin. Surat yang dikirim ke APH lain jumlahnya 5, nilai transaksinya Rp 64,7 miliar.

Pada 2021 ada 20 surat dengan nilai transaksi Rp 27,1 triliun. Yang dikirim ke Kemenkeu 14 surat dengan nilai Rp 22,8 triliun. Hanya 11 surat yang ditindaklanjuti, ada 60 pegawai yang terkena hukuman disiplin, serta 1 diserahkan ke APH. “Ada 6 surat yang diseragkan ke APH lain nilainya Rp 4,3 triliun,” ucap dia.

Selanjutnya pada 2022, Sri Mulyani menuturkan, ada 18 surat dengan nilai transaksi Rp 17,6 triliun. Yang masuk ke Kemenkeu ada 9 surat nilai transaksinya Rp 11,6 triliun. Ada 4 yang di-followup dengan 7 pegawai yang terkena hukuman disiplin, serta 1 ditindak lanjuti APH lain. Kemudian 9 surat lainnya dikirimkan ke APH lain nilainya Rp 5 triliun.

Terakhir pada 2023, ada 2 surat yang dikirimkan ke Kemenkeu. Satu di antaranya sudah di-followup dan masih didalami, dalam proses audit investigasi. Jadi secara ringkas, kata Sri Mulyani dari 300 surat, hanya 200 surat yang diterima Kemkenkeu, ada 186 yang di-follow up secara keseluruhan dengan 193 pegawai yang terkena hukuman disiplin.


Lima kali pertemuan sebelum ke Komisi III

Sebelum bertandang ke Komisi III DPR RI kemarin, Mahfud yang juga merupakan Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan TPPU mengatakan komite melakukan lima pertemuan untuk membahas transaksi janggal tersebut. Rapat komite pertama pada 4 April di Kemenkeu, pada 6 April di Kantor PPATK, pada 8 April di Kemenkopolhukam, pada 9 April di Kemenkeu, dan terakhir pada 10 April di Kantor PPATK.

Hasil lima kali pertemuan itu dibeberkan di depan anggota Komisi III DPR RI. Yakni Mahfud menjelaskan tidak ada perbedaan data antara yang disampaikan oleh dirinya di Komisi III DPR pada 29 Maret 2023 dengan yang disampaikan oleh Sri Mulyani di Komisi XI DPR pada 27 Maret 2023. "Karena sumber data yang disampaikan sama, yaitu data agregat laporan hasil analisis (LHA) PPATK tahun 2009-2023," kata dia.

Terlihat berbeda karena cara klasifikasi dan penyajian datanya yang berbeda. Keseluruhan LHA/ LHP (laporan hasil pemeriksaan) mencapai 300 surat dengan total nilai transaksi agregat Rp 349 triliun. Kemenkopolhukam mencantumkan semua LHA/ LHP yang melibatkan pegawai Kemenkeu, baik LHA/ LHP yang dikirimkan ke Kemenkeu, maupun yang dikirimkan ke aparat penegak hukum (APH) yang terkait dengan pegawai Kemenkeu, dengan membaginya menjadi 3 cluster. 

"Sedangkan Kementerian Keuangan hanya mencantumkan LHA/ LHP yang diterima, tidak mencantumkan LHA/ LHP yang dikirimkan ke APH yang terkait pegawai Kemenkeu," tutur Mahfud.

Menurut Mahfud, dari 300 LHA/ LHP yang diserahkan kepada PPATK sejak 2009-2023 kepada Kemenkeu maupun kepada APH, sebagian sudah ditindaklanjuti. "Namun sebagian lainnya masih dalam proses penyelesaian, baik oleh Kemenkeu maupun APH," ucap dia.

Kemenkeu, menurut Mahfud, sudah menyelesaikan sebagian besar LHA/ LHP yang berkaitan dengan tindakan administrasi terhadap pegawai atau Aparatur Sipil Negara (ASN). Khususnya yang terbukti terlibat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN jo. PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemenkeu akan terus menindaklanjuti dugaan terjadinya Tindak Pidana Asal (TPA) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang belum sepenuhnya dilakukan. "Bekerja sama dengan PPATK dan aparat penegak hukum untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya," ujar Mahfud.

Untuk LHP dengan nilai transaksi agregat Rp189.273.872.395.172 atau Rp 189 triliun yang disampaikan Mahfud di Komisi III DPR pada 29 Maret 2023 dan dijelaskan Menteri Keuangan di Komisi XI DPR pada 27 Maret 2023, pengungkapan dugaan Tindak Pidana Asal (TPA) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sudah dilakukan langkah hukum terhadap TPA.

"Telah menghasilkan putusan pengadilan hingga Peninjauan Kembali (PK) namun Komite memutuskan untuk tetap melakukan tindak lanjut termasuk hal-hal yang selama ini belum masuk kedalam proses hukum (case building) oleh Kemenkeu," ujar Mahfud.

Sri Mulyani pun senada dengan Mahfud. Menurut dia, transaksi agregat Rp 349 triliun ini artinya adalah transaksi yang bersifat debit kredit yang di dalam proses melihat akuntansinya bisa disebut double triple counting, tapi ini semuanya dijumlahkan menjadi Rp 349 trilun. Sumber dari data ini adalah dari PPATK. “Data sama, tapi berbeda presentasinya.”


Beda sajian data Sri Mulyani dan Mahfud

Sri Mulyani juga membandingkan data versi dirinya dan Mahfud mengenai transaksi mencurigakan Rp 349 triliun. Dia menuturkan bahwa dalam data, Mahfud mengkategorikan transaksi janggal itu menjadi tiga. Pertama ditulis transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu. “Padahal tadi ada clearence dan lain-lain, tapi enggak apa-apa lah ditulis seperti itu,” kata dia.

Kategori pertama itu nilainya Rp 35,5 triliun dari jumlah LHA sebanyak 153 surat, tapi ada yang dikirim ke APH lain. Jumlah entitasnya 461 ASN Kemenkeu, 11 ASN kementerian dan lebaga lain, serta yang non-ASN jumlahnya 294 entitas.

Sementara, dalam kategorisasi versi Kemenkeu, dari nilai Rp 35,5 triliun (135 surat) yang dikirimkan kepada Kemenkeu, yang menyangkut pegawai nilainya Rp 22 triliun yang terbagi menjadi dua yakni Rp 3,3 triliun murni berkaitan pegawai dan Rp 18,7 triliun ternyata adalah informasi perusahaan. Serta ada 64 surat yang dikirim ke APH lain yang isinya ada 103 nama ASN Kemenkeu nilainya Rp 13 triliun.

“Makanya kami tidak presentasikan, karena kami tidak menerima surat. Kami hanya menerima nomor suratnya dan menyebutkan ada 64 surat ke APH, jadi tidak ada bedanya (dengan data Mahfud),” ucap Sri Mulyani.

Dia melanjutkan, kategori kedua dari data Mahfud menyebutkan ada transaksi di Kemenkeu yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain, disebutkan Rp 53,8 triliun. Sri Mulyani meneliti data itu, semuanya adalah surat yang dikirim ke APH yang terdiri dari dua surat. Ini menyangkut 23 pegawai Kemenkeu yang sebagian sudah divonis, nilainya Rp 47,7 triliun.

“Jadi bedanya kami identifikasi, dari Rp 53,8 triliun yang dipresentasinya Pak Menko, kami indentifikasi Rp 47,7 triliun,” tutur dia.

Kemudian kategori ketiga dari data Mahfud, transaksi mencurigakan dari perusahaan-perusahaan yang PPATK menyebut ada di dalam kewenangan Kemenkeu yaitu Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak untuk diteliti. Karena detengarai ada potensi TPPU. Nilainya sebesar Rp 260,5 triliun.

Sri Mulyani menjelaskan, jika menurut kategorisasinya, dari nilai Rp 260,5 triliun tersebut, hanya 65 surat yang dikirimkan ke Kemenkeu. Isinya menyangkut perusahaan yang diminta untuk diteliti karena ditengarai memiliki potensi TPPU yaitu sebesar Rp 253,6 triliun. Sedangkan yang Rp 14,186 triliun ada di 34 surat yang dikirim ke APH lain.

“Makanya nanti kami mengelaborasi di 153 surat. Semua yang ada di kami bisa dielaborasi, yang APH tentu APH. Jadi kalau dilihat tabel ini padanannya tidak ada perbedaan. Artinya ini pengkategorisasian saja dan kami menekankan karena domain Kemenkeu ya kami menjelaskan yang ada di Kemenkeu,” kata Sri Mulyani.

Merespons penjelasan Sri Mulyani, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra Wihadi Wiyanto mengaku mulai memahami transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun itu. Menurut Wihadi, penjelasan Menteri Keuangan sudah bisa dipahami, terutama mengenai perbedaan data yang hanya terletak pada penyajiannya.

Politikus partai berlogo Burung Garuda itu mengatakan Sri Mulyani sudah menjelaskan cukup gambang. “Mengenai masalah perbedaan-perbedaan yang kita perdebatan saat rapat lalu," ucap Wihadi.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Johan Budi juga mengatakan hal senada. Dia menuturkan dari rapat yang berlangsung ternyata sudah jelas tidak ada perbedaan data dari keduanya (Menkeu dan Menkopolhukam).

Dia mencontohkan, misalnya transaksi mencurigakan yang benar-benar fokus diduga melibatkan pegawai Kemenkeu sudah diselesaikan senilai Rp 22 triliun. Johan menilai bahwa rapat tersebut menjadi antiklimaks, karena Sri Mulyani menjelaskan detail tentang apa yang selama ini seolah-olah terjadi moral hazard di Kemenkeu. “Bu Sri Mulyani menjawab tentang transaksi Rp 22 triliun telah ditindaklanjut, demikian juga yang Rp 3,3 triliun," kata dia.


IAW minta transaksi diusut per tahun

Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus justru melihat data transaksi mencurigakan Rp 349 triliun itu menyimpang, karena periodenya digabungkan 2009-2023. Karena seakan-akan arus uang itu satu kesatuan, bukan berdasarkan kalender kerja. “Kita harus sayangkan, baik PPATK mau pemerintah tidak bisa mengatakan akumulatif periode tertentu,” ujar dia.

Iskandar menilai ketika mengunakan kalimat memadukan dan menyatukan publik sudah berfikir ada tendensi untuk menyimpangkan laporan. Selain itu, dia berujar, proses penanganandari Kemenkeu juga tidak bisa diakumulasi, karena di sistem anggaran tetap berdasarkan kalender. “Putaran uang berdasarkan kalender enggak? Kenapa sekarang disatuin kalendernya?” kata dia.

Selain itu, dia juga mempertanyakan kompetensi Komisi III DPR RI yang ikut menelaah transaksi janggal itu. “Apakah DPR mumpuni terhadap hal itu? Coba dikeluarkan serifikat mereka bahwa mereka bisa mengaudit itu.” Menurut Iskanda, kewenangan sebagai pengawas dan melakukan kajian terhadap LHA atau LHP adalah hal yang berbeda.

“Sekarang publik sudah disuguhkan bahwa jika sudah selesai di Komisi III ya selesai. Ya kita enggak mau lah. Enak saja pertanggungjawaban dulu, kita belah dulu Rp 349 triliun itu tahun berapa. Tahun 2009 berapa? 2010 berapa?” ucap Iskandar.

Jika itu sudah dilakukan, dia melanjutkan, nanti akan ketahuan siapa yang menggerakkan uang itu. “Siapa kepada siapa, untuk kepentingan apa, sumbernya dari mana, tujuannya kemana.” Jadi, Iskandar meminta agar data tersebut dibuka per tahun. Meskipun multi-years, tetap perlu dibedah per tahunnya, sesuai prinsip-prinsip yang ada.

Iskandar juga meminta agar penelsuruannya tidak terbapas pada Rp 35,5 triliun yang disampaikan Mahfud atau Rp 3,3 triliun dari perspektif Kemenkeu. Dia menilai hal itu menunjukan seolah-olah ada asumsi penyederhanaan dari LHA PPATK senilai Rp 349 triliun dan yang sudah ketemu senilai Rp 35,5 triliun.

“Ini arus uang kotor ini, cuci uang ini. Itulah pendapat dari IAW jadi tidak sederhana itu, tapi kalau pemerintah mau membuat itu sederhana mari kita ke depan akan mengalami hal yang terus terulang,” ucap dia. Iskandar juga menyetujui usulan Mahfud yang akan membuat satgas khusus untuk menelusuri transaksi mencurigakan itu.


Usulan membentuk satgas

Mahfud dalam rapat kerja Komisi III DPR RI juga mengusulkan bahwa Komite TPPU akan segera membentuk tim gabungan/ satgas yang akan melakukan supervisi untuk menindaklanjuti keseluruhan LHA/ LHP. Dengan nilai agregat sebesar Rp 349 triliun dengan melakukan Case Building (membangun kasus dari awal). 

Tim gabungan/ satgas, kata dia, akan melibatkan PPATK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Bareskrim Polri, Pidsus Kejagung, Bidang Pengawasan OJK, BIN, dan Kemenko Polhukam. Komite akan melakukan case building dengan memprioritaskan LHP yang bernilai paling besar karena telah menjadi perhatian masyarakat. 

“Dimulai dengan LHP senilai agregat Rp189 triliun," ucap Mahfud. Komite dan satgas, kata Mahfud, akan bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel.

Sementara, Wakil Ketua Komisi 3 DPR RI Ahmad Sahroni menjelaskan bahwa hal itu baru berupa usulan dari Komite TPPU. “Tapi kami harap satgas itu tidak perlu, kan sudah ada komite ini,” ujar dia.

Menurut politisi Nasdem itu, Komite TPPU itu seharusnya mendalami hasil analisis transkasi PPATK. “Satgas enggak perlu, buang-buang waktu sistemnya. Strukturnya sama, buat apa mending yang dimaksimalkan (Komite TPPU),” kata Sahroni.

Sekretaris Pendiri IAW Iskandar mempertanyakan jika satgas tidak perlu dibuat, kenapa Komisi III DPR RI menggelar rapat kerja membahasa transaksi janggal Rp 349 triliun. “Kenapa tidak berfikir, ‘maaf enggak usah kita sidangkan sudah ada Komite TPPU’ kan jadi blunder sendiri itu,” tutur Iskandar.

Dia menuturkan dengan melakukan rapat itu, menujukan bahwa Komisi III ragu dan penuh kecurigaan. Seharusnya untuk meluruskan, bentuk yang independen. “Yang dicurigai tidak lagi diserahkan kewenangan, tapi DPR cawe-cawe. Bener Mahfud. Iya (tetap satgas), kalau tidak satgas publik dong. Kasih saja kantor akuntan publik, atau sekalian kasihkan ke BPK,” ujar Iskandar.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Konflik Nurul Ghufron dengan Anggota Dewas Albertina Ho, KPK: Tidak Ada Berantem

5 jam lalu

Juru bicara KPK, Ali Fikri, memberikan keterangan kepada awak media, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu, 24 April 2024. KPK mengirimkan kembali surat pemanggilan kepada Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali (Gus Muhdlor), yang telah ditetapkan sebagai tersangka, untuk kooperatif hadir memenuhi panggilan penyidik menjalani pemeriksaan pada hari Jumat, 3 Mei 2024 mendatang, dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa pemotongan dan penerimaan uang kepada pegawai negeri di Lingkungan Badan Pelayanan Pajak Daerah Kabupaten Sidoarjo. TEMPO/Imam Sukamto
Konflik Nurul Ghufron dengan Anggota Dewas Albertina Ho, KPK: Tidak Ada Berantem

Juru bicara KPK Ali Fikri mengatakan laporan Nurul Ghufron tersebut murni pribadi.


YLKI: Pemerintah Mesti Lebih Tegas Menindak Pinjol Ilegal, hingga Mengusut Aliran Dana dan Investor

7 jam lalu

Ilustrasi Pinjaman Online. Freepix: Rawpixel.com
YLKI: Pemerintah Mesti Lebih Tegas Menindak Pinjol Ilegal, hingga Mengusut Aliran Dana dan Investor

Satgas Pasti menemukan 537 entitas pinjol ilegal di sejumlah situs dan aplikasi sepanjang Februari hingga Maret 2024.


Pengamat dan Aktivis Antikorupsi Bicara Soal Seteru di Internal KPK, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

7 jam lalu

Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha (tengah) didampingi Dewan Penasehat Novel Baswedan (dua kanan) menunjukkan barkas laporan di gedung lama KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat 26 April 2024. IM57+ Institute melaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas dugaan pelanggaran kode etik. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Pengamat dan Aktivis Antikorupsi Bicara Soal Seteru di Internal KPK, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Aktivis dan pengamat antikorupsi turut menanggapi fenomena seteru di internal KPK, Nurul Ghufron laporkan Albertina Ho. Apa kata mereka?


Albertina Ho Tanggapi Pernyataan Nurul Ghufron soal Surat Edaran Dianggap Tak Berstatus Hukum

8 jam lalu

Anggota Dewas KPK Albertina Ho memberikan keterangan soal keributan dirinya dengan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, di Gedung C1 KPK pada Jumat, 26 April 2024. Tempo/Bagus Pribadi
Albertina Ho Tanggapi Pernyataan Nurul Ghufron soal Surat Edaran Dianggap Tak Berstatus Hukum

"Ah biar sajalah. Kan Ketua PPATK sudah bilang, ada aturannya kan," kata Albertina Ho.


Tanggapan KPK Hingga Dewas KPK Soal Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

9 jam lalu

Anggota Dewas KPK Albertina Ho memberikan keterangan soal keributan dirinya dengan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, di Gedung C1 KPK pada Jumat, 26 April 2024. Tempo/Bagus Pribadi
Tanggapan KPK Hingga Dewas KPK Soal Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron laporkan anggota Dewas KPK Albertina Ho. Berikut tanggapan internal KPK, Dewas KPK, hingga PPATK.


Bertubi-tubi Penghargaan untuk Bobby Nasution, Terakhir Menantu Jokowi Raih Satyalancana dan Tokoh Nasional

10 jam lalu

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyerahkan penghargaan Satyalencana kepada Wali Kota Medan Bobby Nasution dalam acara Peringatan Hari Otonomi Daerah XXVIII  tahun 2024 di Surabaya, Jawa Timur Kamis 25 April 2024. Humas Pemkot Surabaya
Bertubi-tubi Penghargaan untuk Bobby Nasution, Terakhir Menantu Jokowi Raih Satyalancana dan Tokoh Nasional

Wali Kota Medan Bobby Nasution boleh dibilang banjir penghargaan. Menantu Jokowi ini dapat penghargaan Satyalancana baru-baru ini.


Novel Baswedan dan Eks Pegawai KPK Lainnya Laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK soal Dugaan Pelanggaran Kode Etik

10 jam lalu

Eks Pegawai KPK yang tergabung dalam IM57+ Institute yang diwakili oleh Novel Baswedan, M Praswad Nugraha, dan Yudi Purnomo Harahap melaporkan ke Dewas KPK soal dugaan pelanggaran kode etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron atas pelaporannya terhadap Anggota Dewas KPK Albertina Ho, Jumat, 26 April 2024. Tempo/Bagus Pribadi
Novel Baswedan dan Eks Pegawai KPK Lainnya Laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK soal Dugaan Pelanggaran Kode Etik

Novel Baswedan dkk melaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron atas dugaan pelanggaran kode etik karena telah melaporkan Anggota Dewas KPK Albertina Ho.


Masih Loyo, Nilai Tukar Rupiah Melemah ke Level Rp 16.210 per Dolar AS

10 jam lalu

Ilustrasi mata uang Rupiah. Brent Lewin/Bloomberg via Getty Images
Masih Loyo, Nilai Tukar Rupiah Melemah ke Level Rp 16.210 per Dolar AS

Pada perdagangan Kamis, kurs rupiah ditutup melemah pada level Rp 16.187 per dolar AS.


Semakin Turun, Surplus APBN Maret 2024 Hanya Rp 8,1 Triliun

11 jam lalu

Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama jajarannya bersiap memulai konferensi pers APBN Kita edisi Maret 2024 di Jakarta, Senin 25 Maret 2024. Sri Mulyani mengatakan, realisasi anggaran Pemilu 2024 hingga 29 Februari 2024 sebesar Rp 23,1 triliun. TEMPO/Tony Hartawan
Semakin Turun, Surplus APBN Maret 2024 Hanya Rp 8,1 Triliun

Sri Mulyani menilai kinerja APBN triwulan I ini masih cukup baik.


Sri Mulyani: Anggaran Pemilu 2024 Belum Terbelanjakan Rp 12 Triliun

12 jam lalu

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. TEMPO/Annisa Febiola.
Sri Mulyani: Anggaran Pemilu 2024 Belum Terbelanjakan Rp 12 Triliun

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan masih ada Rp 12,3 triliun anggaran Pemilu 2024 yang belum terbelanjakan.