TEMPO.CO, Jakarta - Bulan Ramadan dalam beberapa tahun terakhir identik dengan meningkatnya kekerasan terhadap masyarakat Palestina di wilayah Yerusalem yang diduduki Israel.
Kekerasan dipicu oleh larangan Israel terhadap pria dewasa Muslim Palestina memasuki Masjid Al-Aqsa. Alasannya untuk menghindari bentrokan karena Ramadan bertepatan dengan dengan peringatan Paskah Yahudi dan Paskah Kristen
Israel dengan segala kekuasaannya, mengatur jamaah yang bisa masuk Al-Aqsa. “Perempuan segala usia, anak laki-laki sampai dengan 12 tahun, dan laki-laki di atas 55 tahun diperbolehkan memasuki Masjid Al-Aqsa selama Ramadan tanpa izin,” kata Koordinator Kegiatan Pemerintah Daerah Israel, Mayjen. Ghassan Alyan, dalam sebuah pernyataan pada Senin. 20 Maret 2023.
Di luar ketentuan itu, warga Palestina harus izin Israel untuk beribadah di tempat suci ketiga umat Islam tersebut.
Akibatnya, ibadah Jumat pertama di Ramadan ini, Masjid Al-Aqsa dipenuhi jamaah pria sepuh, wanita dan anak-anak. Sedangkan laki-laki dewasa tidak bisa masuk.
Meski warga Palestina mengalah dengan mematuhi peraturan sepihak tersebut, serangan ke Tepi Barat dan Masjid Al-Aqsa tetap terjadi pada akhir pekan lalu. Serangan banyak dilakukan oleh pemukim Yahudi, yang kian berani, karena mendapat perlindungan dari pihak berwajib Israel.
Padahal sebelumnya, pemerintah Israel dan Palestina dengan ditengahi Mesir , menggelar pertemuan di Kota Sharm el-Sheikh, 19 Maret 2023, untuk sama-sama menahan diri guna meredakan ketegangan di Tepi Barat menjelang bulan suci Ramadan
Pada hari Minggu, 26 Maret 2023, empat pemukim Israel melemparkan bahan yang mudah terbakar ke rumah Ahmed Awashreh di Sinjil utara Ramallah, sebuah desa yang berulang kali menjadi sasaran penyerangan oleh pemukim dari Givat Harel, Shilo dan Ma'ale Libouna.
Itu terjadi beberapa minggu setelah serangan pemukim yang sengit di Huwara, Burin, dan Qaryut, selatan Nablus, di mana puluhan rumah dan kendaraan dibakar.
Awashra, 35 tahun, mengatakan dia dan keluarganya yang beranggotakan enam orang harus melarikan diri dan merupakan keajaiban tidak ada yang tewas atau terluka.
Para pemimpin Palestina telah memperingatkan terulangnya serangan 2015 di Duma, selatan Nablus, ketika para pemukim membakar rumah keluarga Dawabsha.
Ali Dawabsha, yang berusia 18 bulan, tewas dalam kebakaran tersebut sementara orang tuanya, Saad dan Riham, meninggal karena luka-luka mereka beberapa hari kemudian. Putra mereka yang berusia empat tahun, Ahmed, menderita luka bakar parah tetapi selamat.
Yossi Dagan, kepala Dewan Pemukiman Israel di Tepi Barat utara, pada hari Minggu membuka kantor di dekat Huwara untuk memprotes kurangnya keamanan bagi para pemukim Yahudi yang melewati daerah tersebut.
Langkah tersebut mengingatkan pada Itamar Ben-Gvir, menteri keamanan dalam negeri, yang mendirikan kantor di daerah Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur tahun lalu ketika warga Palestina menolak upaya penyitaan rumah mereka oleh para pemukim.
Sementara itu pada Minggu pagi, tentara Israel menangkap lima warga Palestina dari Tulkarem dan Huwara dan menutup Nablus beberapa jam setelah dua tentara Israel terluka dalam penembakan di Huwara.
Front Populer untuk Pembebasan Palestina mengatakan telah melakukan serangan itu.
Lusinan pemukim berkumpul di Huwara dan menyerang kendaraan Palestina dengan batu di dekat bundaran Deir Sharaf di Nablus utara, menyebabkan beberapa mobil rusak.
Di tempat lain, puluhan pemukim bersenjata berat menyerbu Kota Tua Hebron pada Sabtu malam, meneriakkan slogan-slogan rasis di tengah pengerahan besar-besaran pasukan Israel.
Melihat meningkatnya kekerasan dilakukan aparat dan warga Israel terhadap penduduk Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem, sepertinya terwujudnya negara Palestina merdeka dan berdaulat semakin jauh.