TEMPO.CO, Jakarta - Staf Respon Krisis Crisis Respond Mechanism (CRM), Riska Carolina, mengaku tekejut dengan pernyataan Menkopolhukam Mahfud Md yang menyebut perilaku LGBT dapat dipidanakan setelah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan.
Sebab menurut Riska, pihaknya bersama Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang mengawal revisi Undang-Undang tersebut sejak awal, tidak pernah menemukan adanya pasal yang menjerat LGBT secara hukum.
"Setahu saya RKUHP sudah cukup moderat yang tidak diskriminatif, jadi kalau ada kabar akan mempidana kelompok rentan, itu saya tidak tahu," ujar Riska saat dihubungi Tempo, Senin, 23 Mei 2022.
Riska menduga adanya aturan soal pidana terhadap LGBT merupakan keinginan pihak-pihak tertentu. Ia pun menyayangkan hal tersebut karena KUHP yang baru nantinya bakal lebih diskriminatif terhadap minoritas.
Sejauh ini, kata Riska, sudah ada 45 Perda diskriminatif dan 11 Perda bernuansa keluarga. Hal ini, menurutnya, berdampak pada timbulnya kasus kekerasan terhadap kaum minoritas gender dan seksual. Dengan adanya RKUHP ini, tindakan didiskriminasi bakal semakin dirasakan oleh kelompok LGBT.
"Saya kurang tahu agenda Pak Mahfud Md apa. Tapi berkat beliau, bisa jadi potensi kekerasan, diskriminasi, dan kebencian pada minoritas gender semakin banyak. Beliau aparatur negara, ujaran yg disampaikan beliau, berdampak besar pada minoritas gender dan seksual," kata Riska.
Sementara itu anggota DPR Komisi III dari Fraksi Nasional Demokrat (NasDem), Taufik Basari, menyebut masalah pemidanaan terhadap kelompok LGBT belum dibahas secara rinci di Dewan. Sebab, draft RKUHP sampai saat ini masih berada di pemerintah dan belum dikembalikan ke DPR.
"Sejauh yang saya pahami tidak ada ketentuan dalam draft RKUHP yang mengkriminalisasi LGBT. Karena draftnya masih menjadi ranah pemerintah, maka kita tunggu apa yang dimaksud Menkopolhukam ketika mengangkat isu ini," kata Taufik.
Lebih lanjut, Taufik menjelaskan pihaknya juga akan berhati-hati dalam membuat pasal pemidanaan terhadap LGBT. Sebab, menurut dia, dalam prinsip hukum pidana harus ada mens rea ketika suatu perbuatan dijadikan delik pidana.
Sementara orientasi seksual merupakan hal yang sulit untuk ditempatkan sebagai perbuatan yang memiliki unsur kehendak jahat atau mens rea. "Karena itu kita mesti hati-hati, jangan sampai keinginan untuk melakukan kriminalisasi LGBT melanggar prinsip-prinsip hukum pidana," kata Taufik.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward O.S Hiariej juga menyatakan hal yang sama. Ia memastikan bahwa RKUHP tak bakal mengatur pidana lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). "LGBT enggak ada dalam RKUHP, enggak ada," kata dia.
Edward menjelaskan, RKUHP merupakan produk rancangan undang-undang yang netral terhadap gender. Dengan demikian, RUU tersebut tak akan mengatur secara spesifik pidana terhadap kelompok gender tertentu. "Setiap orang itu kan mau laki-laki sama perempuan, laki-laki sama laki-laki, perempuan sama perempuan, netral gender dia," kata dia.
Asal-usul masuknya pasal soal LGBT dalam RKUHP dijelaskan oleh anggota Komisi III DPR RI, Desmond Junaidi Mahesa. Ia berujar masuknya pasal soal LGBT dalam RKUHP merupakan respon pemerintah atas putusan Mahkamah Konstitusi amar Nomor 46/PUU-XIV/2016. Dalam keputusannya, MA menolak permohonan judicial review terhadap Pasal 284 ayat (1) sampai (5), 285 dan 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ketiga pasal itu diuji materilkan oleh sejumlah kalangan agar MK memberikan tafsir bahwa LGBT dapat dikenai pidana sebagaimana perbuatan zina, pemerkosaan, serta pencabulan sebagai bukan delik aduan dan merupakan delik pidana murni. Namun, dalam putusannya MK menolak judicial review itu.
Alasannya, perluasan jenis delik pidana bukan merupakan kewenangan MK dan telah memasuki wilayah kebijakan pembuatan tindak pidana baru yang kewenangannya ada pada pembentuk Undang-Undang, yaitu DPR dan Presiden. Desmond menyatakan melalui putusan ini MK secara langsung telah menjaga hak atas privasi warga negaranya, tidak menambah overpopulasi penjara, mencegah terjadinya persekusi terhadap kelompok minoritas gender.
Namun, menurut politikus Partai Gerindra tersebut, keputusan MK itu ditafsirkan berbeda-beda oleh banyak pihak. "Ada yang menafsirkan bahwa putusan tersebut cenderung melegalkan LGBT ada pula yang menafsirkan bahwa Putusan tersebut menyatakan bahwa MK tidak memiliki wewenang untuk membuat tindak pidana baru," kata Desmond.
Dengan keputusan yang tidak tegas itu, membuat adanya ketidakpastian tentang eksistensi komunitas LGBT di Indonesia. "Apakah LGBT itu pelakunya bisa dipidana atau bagaimana? Ketentuan yang terkesan “banci” alias abu-abu ini pada akhirnya memunculkan penafsiran seperti dinyatakan oleh Mahfud Md yang menyatakan bahwa LGBT dan pihak yang menyiarkan tayangannya belum ada pelarangan secara hukum di Indonesia," kata Desmond.
Lebih lanjut, Desmond mengatakan usulan agar LGBT dimasukan dalam RKUHP juga datang dari Presiden Jokowi. Dengan mempertimbangkan masukan dari masyarakat, usul Presiden, hingga dapat mengisi kekosongan hukum terhadap pelaku LGBT, DPR memasukan pasal pemidanaan LGBT dalam RKUHP.
"Pentingnya juga untuk dipertegas bahwa perbuatan LGBT merupakan delik pidana absolut bukan delik pidana aduan semata. Sehingga siapa pun yang melakukan perbuatan LGBT dapat ditangkap oleh aparatur hukum tanpa harus menunggu aduan masyarakat," kata Desmond.
Meski baru wacana, Pembina Yayasan GAYa NUSANTARA Dede Oetomo menganggap rumusan pemidanaan LGBT dalam Rancangan KUHP tidak menaati prinsip universalitas HAM. Hal yang dimaksud adalah hak seksual dan privasi yang menyatakan hubungan seks antara orang dewasa yang saling sepakat merupakan hak pribadi mereka.
Ia menyayangkan ketika dunia internasional tengah mengusahakan dekriminalisasi seks sesama gender dan pengakuan gender yang tidak hanya dua, justru Mahfud Md menyatakan setuju adanya pidana terhadap LGBT. “Dia (Mahfud Md) juga tidak menaati prinsip pemisahan agama dan negara yang pernah dianut almarhum Gus Dur,” kata Dede Oetomo.
M JULNIS FIRMANSYAH
Baca Juga: Survei SMRC: 87,6 Persen Masyarakat Menilai LGBT Ancaman
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini