TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Badan Pengkajian MPR, Djarot Saiful Hidayat mengatakan, tim perumus telah sepakat bahwa pembentukan pokok-pokok haluan negara (PPHN) akan dihadirkan tanpa melalui amandemen UUD 1945.
"Rabu kemarin kami sudah bertemu dengan seluruh anggota tim perumus yang melibatkan seluruh fraksi-fraksi MPR, termasuk DPD, dan disepakati bahwa kami tidak akan melakukan amendemen dengan menghadirkan PPHN. Jadi bentuk hukumnya cukup dengan undang-undang," ujar Djarot saat ditemui di Sekolah Partai PDIP Lenteng Agung, Jakarta Selatan pada Ahad, 10 April 2022.
Menurut Djarot, tim perumus sependapat bahwa menghidupkan PPHN lewat amandemen terlalu berisiko karena berpotensi membuka kotak pandora. Agenda amandemen dikhawatirkan bisa menjadi pintu masuk untuk mewujudkan ide perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo ataupun tiga periode Jokowi.
Senada, Anggota Tim Perumus Badan Kajian MPR dari Fraksi PPP Syaifullah Tamliha membenarkan adanya keputusan tersebut. Ia menjelaskan, sebelumnya ada tiga pilihan yang diajukan Badan Pengkajian untuk PPHN, yakni amendemen konstitusi UUD 1945, Ketetapan MPR yang juga mengharuskan amendemen terbatas, dan lewat undang-undang. Tim perumus memilih opsi ketiga.
"Insyaallah hasil rapat tim perumus ini akan dibawa ke rapat pleno Badan Pengkajian MPR. Setelah itu, kami akan laporkan dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR dan Pimpinan Fraksi/Kelompok DPD," ujar Syaifullah saat dihubungi, Senin, 11 April 2022.
Anggota Badan Kajian MPR dari Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno mengatakan bahwa rapat pleno dijadwalkan pekan ini. "Pleno Rabu nanti," ujar Hendrawan lewat pesan singkat, Senin, 11 April 2022.
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid berharap rapat gabungan bisa digelar segera setelah rapat pleno selesai, karena berpacu dengan penutupan masa sidang pada 14 April. "Rapat gabungan ini adalah rapat tertinggi di MPR, setelah rapat paripurna. Semoga bisa digelar sebelum reses. Berarti kemungkinan Rabu atau Kamis itu disampaikan dan kemudian diputuskan bersama," ujar Hidayat kepada Tempo, Senin, 11 April 2022.
Jika seluruh fraksi yang tergabung dalam Badan Kajian MPR sudah setuju tidak ada amandemen, ujar Hidayat, maka peta pimpinan di MPR juga kurang lebih sama.
"Jadi peta pimpinan MPR mirip saja. Kan mayoritas pimpinan juga sudah menyatakan tidak setuju (amandemen konstitusi untuk menghidupkan PPHN)," ujar politikus PKS tersebut.
Hidayat menjelaskan, peta politik sebelum isu perpanjangan masa jabatan presiden muncul, ada empat fraksi yang menolak penetapan PPHN lewat amandemen UUD 1945, yakni PKS, Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat. Setelah isu presiden tiga periode muncul, PDIP, NasDem, dan PPP menyatakan menarik dukungan karena khawatir ditunggangi isu perpanjangan masa jabatan presiden. Tinggal yang tersisa hanya PKB dan PAN.
Belakangan PAN juga sudah balik badan dari ide penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden, karena sadar terbentur realitas politik dan lemahnya dukungan di parlemen. Sementara Ketua DPD RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti juga sudah tegas menyatakan lembaganya tidak setuju amandemen konstitusi jika mengotak-atik pasal perpanjangan masa jabatan presiden. "Jadi petanya sudah sangat gamblang," ujar Hidayat.
Kalau pun ada beberapa pihak yang masih ngotot ingin menunda pemilu, ujar dia, maka percuma saja karena sudah pasti kalah suara. Sesuai Pasal 37 UUD 1945, amandemen dapat diusulkan oleh minimal satu pertiga dari total anggota MPR atau 237 anggota. Sidang MPR untuk mengubah pasal UUD minimal dihadiri dua pertiga dari total anggota MPR atau setara dengan 356 anggota. Lalu putusan perubahan pasal-pasal UUD disetujui paling sedikit 50 persen tambah satu anggota MPR. Jika mayoritas pemilik suara menolak, maka agenda amandemen tidak akan lolos.
Dengan peta politik saat ini, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS itu menilai pintu melakukan amandemen konstitusi sudah tertutup. "Pintu amandemen untuk PPHN sudah ditutup, apalagi untuk penundaan pemilu. Manuver-manuver mereka yang ingin menunda pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden telah gagal," ujar Hidayat.
Untuk itu, ia meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak lagi mencla-mencle dan tegas menyatakan menolak penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden.
"Kalau sikap beliau masih ngambang seperti saat ini, sesungguhnya enggak ngefek, enggak guna juga, karena DPR, DPD dan MPR bisa dikatakan sudah 90 persen satu kata untuk Pemilu 2024. Oleh karenanya, sebaiknya beliau tegas saja untuk meninggalkan legacy yang baik seperti yang dilakukan Presiden SBY sebelumnya," ujar Hidayat.
DEWI NURITA
Baca: Jokowi Umumkan Jadwal Pemilu 2024, Kobar Tetap Kampanye 3 Periode