TEMPO.CO, Jakarta - Andrey, seorang warga Rusia, begitu ingin meninggalkan negaranya namun tak bisa. Disainer industri berusia 31 tahun ini merasa masa depannya demikian suram. Dia tak mampu mengajukan hipotek di Moskow karena suku bunga telah dinaikkan hingga 20 persen.
"Jika saya bisa meninggalkan Rusia sekarang, saya akan melakukannya. Tapi saya tidak bisa berhenti dari pekerjaan saya," kata Andrey kepada BBC.
Sanksi ekonomi ke Rusia oleh negara-negara Barat mulai terasa. Mata uang Rubel terhadap Dolar AS merosot tajam. Pemerintah pun menaikkan suku bunga menjadi 20 persen dari sebelumnya 9,5 persen sebagai langkah darurat.
Pemerintah meminta perusahaan asing melepas dolar karena khawatir Rubel terus terperosok. Rubel mencapai level terendah 120 terhadap Dolar AS pada platform perdagangan mata uang elektronik EBS setelah Presiden Vladimir Putin memerintahkan operasi militer di Ukraina.
Sejak akhir pekan lalu, orang-orang mulai ketakutan dan mencoba menarik uang tunai di ATM. Terjadi antrean panjang di ATM karena masyarakat khawatir bank akan membatasi penarikan uang tunai dan menghentikan layanan kartu kredit.
Negara-negara Barat menjatuhkan sanksi ekonomi ke Rusia setelah invasi militer ke Ukraina yang dilakukan Presiden Vladimir Putin. Sanksi yang diterapkan oleh Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Kanada, Austrlia, Jepang hingga Uni Eropa bertujuan melumpuhkan ekonomi Rusia.
Barat menghukum Rusia dengan serangkaian tindakan, termasuk menutup wilayah udara untuk pesawat Rusia, menutup beberapa bank Rusia dari jaringan keuangan global SWIFT, dan membatasi kemampuan Moskow untuk menggunakan cadangan devisanya senilai US$ 630 miliar.
Amerika Serikat memblokir aset bernilai miliaran dolar di dua bank Rusia. AS juga menangguhkan aset pejabat elit Rusia.