TEMPO.CO, Jakarta - Terbongkarnya pemerkosaan terhadap 13 santriwati di Pesantren Manarul Huda di Bandung, Jawa Barat, semakin menguak masih maraknya praktek kekerasan seksual pada anak di Indonesia. Maraknya kasus tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memberikan lingkungan yang lebih ramah anak maupun perempuan.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perempuan dan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), jumlah anak korban kekerasan seksual selama 3 tahun terakhir selalu menempati urutan tertinggi. Pada 2019 ada 6.454 kasus, 2020 ada 6.980 kasus, dan tahun 2021 periode Januari - November tercatat ada 7.545 anak korban kekerasan seksual.
"Kekerasan seksual dalam data SIMPONI PPA tetap menduduki urutan kasus kekerasan anak teratas sejak 3 tahun belakangan ini," kata Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar, saat dihubungi, Ahad, 12 Desember 2021.
Dari data Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), laporan kekerasan seksual pada anak terjadi di 27 kota/kabupaten: Jombang, Bangkalan, Mojokerto, Trenggalek, Ponorogo, Lamongan, dan Sidoarjo (Jawa Timur); Kubu Raya (Kalimantan Barat); Lebak dan Tangerang (Banten), Bantul (Yogyakarta), Padang Panjang dan Solok (Sumbar); Aceh Tamiang (Aceh); Ogan Komering Ilir dan Musi Rawas (Sumatera Selatan); Bintan (Kepulauan Riau); Tanggamus, Way Kanan, Tulang Bawang dan Pringsewu (Lampung); Pinrang (Sulawesi Selatan); Balikpapan (Kaltim); Kotawaringin Barat; Jembrana (Bali); Cianjur dan Garut (Jawa Barat).
Data 27 kabupaten/kota belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal, seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, menyatakan rata-rata korban kekerasan seksual di satuan pendidikan agama adalah anak di bawah umur, usia di bawah 18 tahun bahkan ada yang usia 7 tahun, seperti kasus di Pesantren Jembrana. Umumnya kekerasan seksual dilakukan berkali-kali dalam kurun waktu lebih dari 1 tahun. Bahkan untuk kasus di Trenggalek, korbannya sangat banyak sampai 34 santriwati.
"Korban kekerasan seksual tidak selalu santri perempuan, juga santri laki-laki seperti kasus Bantul, Sidoarjo, Jembrana, Solok, dan korban pedofilia terbesar hampir 30 santri di pesantren Ogan Komering Ilir," kata Iman.
Para korban juga tak hanya harus menderita akibat perbuatan pelaku, tapi juga terpaksa menerima konsekuensi lain setelahnya. Dalam kasus di Pesantren Manarul Huda misalnya, 12 orang korban anak di bawah umur yang dilindungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 7 di antaranya telah melahirkan anak pelaku.
Wakil Ketua LPSK, Livia Iskandar, mengatakan para korban juga menjadi kesulitan bersekolah kembali. Dalam kasus di Bandung, beberapa sekolah menolak para korban untuk belajar di tempat mereka. Alasan pertama yang muncul, adalah karena para korban itu diketahui tak mendapat kurikulum yang sesuai selama mereka belajar di Manarul Huda. Sehingga administrasi di rapor mereka pun berbeda.
"Kedua, juga ada (sekolah) yang menolak karena mereka itu korban," kata Livia saat dihubungi, Jumat, 10 Desember 2021.
Livia pun mengatakan telah menghubungi Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, agar mengarahkan jajaran Pemda di sana untuk menjamin sekolah-sekolah untuk mau menerima para korban. Apalagi, menurut Livia, para korban yang masih berumur 13 hingga 16 tahun itu masih memiliki mimpi besar lewat pendidikan mereka.
"Masa anak mau sekolah ga boleh, itu kan aneh banget," kata Livia.
Kementerian Agama yang membawahi pendidikan di pondok pesantren sendiri sebenarnya telah bergerak cepat pasca kasus ini ramai diberitakan media. Pada Jumat lalu, Pesantren Manarul Huda dan Pesantren Tahfidz Quran Al Madani yang juga diasuh pelaku Heri Wirawan, telah ditutup karena tak memiliki izin. Santri yang ada di sana, dipulangkan kembali ke keluarganya.
Tak hanya sampai di situ, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menegaskan pihaknya akan menginvestigasi menyeluruh ke semua lembaga pendidikan madrasah dan pesantren. "Yang kami khawatirkan ini adalah puncak gunung es. Kami menurunkan tim untuk melihat semua dengan melibatkan jajaran Kemenag di daerah masing-masing," kata Yaqut, Jumat lalu.
Meski begitu, hal ini dinilai belum cukup. P2G misalnya, mendesak Kemenag untuk membuat Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Berbasis Agama. PMA mengatur madrasah, pesantren, seminari, pasraman, dan dhammasukha, serta lembaga pendidikan berbasis agama lainnya.
"Regulasi PMA sangat urgent dibuat, mengingat angka kekerasan seksual di satuan pendidikan agama cukup tinggi, P2G menilai Gus Menteri akan cepat tanggap dengan aspirasi ini," ujar Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.
Hal itu akan sejalan dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang sudah melahirkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Kementerian PPPA yang menaungi perlindungan anak, juga mengatakan saat ini, tengah merampungkan strategi nasional pencegahan kekerasan terhadap anak.
"Menyusun peta jalan perlindungan anak di ranah daring, dan menyusun kebijakan Lembaga Perlindungan Khusus Ramah Anak sebagai upaya untuk menjaga semua lembaga layanan benar-benar ramah anak," kata Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar.
EGI ADYATAMA | IMAM HAMDI
Baca juga: Marak Kekerasan Seksual, Wakil Ketua MPR Harap Pembahasan RUU TPKS Dipercepat