TEMPO.CO, Jakarta - Kasus kekerasan seksual dinilai sudah masuk tahap darurat. Sejumlah pihak mendesak agar Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera disahkan guna memberikan kepastian hukum bagi korban.
Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan seksual meningkat selama pandemi Covid-19. Hingga Juni 2021, Komnas Perempuan telah menerima laporan sebanyak 2.592 kasus dan lebih dari 4.200 pengaduan yang masuk hingga awal Oktober lalu. "Komnas Perempuan mendesak DPR RI segera mengesahkan RUU TPKS yang menjamin pelindungan hukum terhadap perempuan dengan disabilitas dan berperspektif korban," demikian keterangan Komnas Perempuan, Rabu, 17 November 2021.
Desakan juga disuarakan Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah. Ia mengatakan, langkah progresif Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim yang telah mengeluarkan Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, semestinya menjadi pelecut bagi DPR RI untuk segera mengesahkan RUU TPKS.
"Mestinya DPR memiliki keberpihakan politik yang progresif terhadap perempuan dan korban kekerasan seksual sebagaimana ditunjukkan dalam Permen PPKS," ujar Sayyidatul.
Usulan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah hadir saat periodisasi DPR RI 2014-2019. Lalu, pada periodisasi DPR RI 2019-2024, RUU ini sempat dibahas oleh Komisi VIII namun dicabut saat evaluasi program legislasi nasional. Kini, DPR kembali memasukkan RUU tersebut dalam Prolegnas Prioritas 2021 sebagai usul inisiatif Baleg DPR RI. Parlemen berkomitmen menyelesaikan pembahasan aturan tersebut pada Masa Sidang I Tahun Persidangan 2021-2022.
Beberapa isu krusial yang muncul dalam dinamika pembahasan RUU TPKS. Di antaranya, perihal judul RUU, kemudian tentang jenis-jenis kekerasan, dan mengenai frasa persetujuan melakukan hubungan seksual (sexual consent).
Ihwal judul, tujuh fraksi telah menyepakati nama rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan yang tak menyetujui nama tersebut.
Adapun PKS mengusulkan judul RUU Tindak Pidana Kesusilaan. Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga, Kurniasih Mufidayati, mengatakan RUU tersebut harus mencakup semua perilaku kejahatan seksual. Oleh karena itu, PKS mengusulkan agar disesuaikan judul dan kontennya yaitu RUU Tindak Pidana Kesusilaan. Kecuali, dalam waktu bersamaan nanti, disahkan juga RKUHP yang menjadi RUU carry over periode lalu.
“RUU TPKS jika berdiri sendiri tanpa pengesahan RKUHP, akan menimbulkan masalah besar yaitu akan terjadi kekosongan hukum bagi semua tindak pidana kesusilaan, yang mencakup semua kejahatan seksual," ujar Mufida lewat keterangannya, Ahad, 21 November 2021.
Sementara itu, Fraksi PPP mengusulkan nama RUU Tindak Pidana Seksual. Alasannya, agar pelanggaran seksual baik yang memiliki unsur kekerasan maupun tidak, akan diatur di dalamnya. Sebab mayoritas menyepakati judul RUU TPKS, rapat Badan Legislasi (Baleg) pada Rabu lalu menyepakati nama RUU TPKS.
Kemudian, ihwal sexual consent tidak diatur dalam RUU TPKS. "Kami sudah memutuskan terkait dengan kata 'persetujuan' itu dihapuskan, tidak ada lagi sexual consent dalam draf RUU TPKS," kata Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS DPR RI, Willy Aditya, Rabu lalu.
Menurut dia, publik tidak perlu resah karena RUU TPKS bukan produk legislasi untuk melegalisasi kebebasan seks dan legalisasi hubungan sejenis.
Selanjutnya mengenai substansi, Willy mengatakan memang sempat ada perdebatan terkait beberapa pasal seperti pasal 5, 6, 7, 8, dan 9.
Dalam draf per 15 November, Pasal 5 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya sehingga orang itu tidak dapat memberikan persetujuan secara bebas, yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu, dipidana karena pemaksaan kontrasepsi, dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta.
Pasal 6 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya sehingga orang itu tidak dapat memberikan persetujuan secara bebas, yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap, dipidana karena pemaksaan sterilisasi, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan/atau pidana denda paling lama Rp 200 juta.
Selanjutnya Pasal 7 menyebut bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya, atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain, dipidana karena pemaksaan hubungan seksual dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Kemudian Pasal 8 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama identitas atau martabat palsu, penyalahgunaan kepercayaan, penyalahgunaan wewenang, atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait keinginan seksual dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual, dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
"Nah yang menjadi menjadi perhatian publik tentang sexual consent di pasal 5,6,7 sama sekali tidak kita masukkan. Khusus untuk kontrasepsi, itu bukan sexual consent, itu medical consent, jadi itu sudah clear," ujar Willy, Kamis lalu.
Menurut Willy, isi draf RUU TPKS sudah sangat kompromis dan menjadi jalan tengah dari berbagai polemik dalam pembahasan RUU yang sebelumnya bernama Penghapusan Kekerasan Seksual itu.
Ia berharap tidak ada lagi pihak-pihak yang mengekploitasi emosi publik dengan membangun narasi RUU TPKS melegalkan seks bebas. "Jangan selalu bermain asusmsi, mengekspolitasi emosi publik, yang akhirnya publik itu sendiri menjadi korban," tuturnya.
Willy menyebut, NasDem, PDIP dan PKB sebagai pengusul akan membangun dialog dengan fraksi-fraksi lain guna mengegolkan RUU ini. Baleg akan menggelar rapat pleno pengambilan keputusan pada 25 November mendatang. Jika lolos, maka RUU TPKS akan dibawa ke rapat paripurna untuk kemudian disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR. "Lalu dikirim ke presiden untuk diterbitkan Supres dan DIM-nya," ujar dia.
Politikus NasDem itu optimistis RUU TPKS ini akan lolos. Panja DPR menargetkan pengesahan RUU tersebut menjadi kado Hari Ibu yang diperingati pada 22 Desember. "Kita berikhtiar lah, saya terus berkomunikasi intensif dengan fraksi-fraksi. RUU ini kan sudah lama kita tunggu-tunggu," ujar Willy.
DEWI NURITA
Baca: Panja Yakin Poin Krusial RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Segera Disepakati