TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Saleh, 27 tahun, tak pernah menyangka akan stuck di Indonesia hampir delapan tahun lamanya. Saleh adalah pengungsi etnis Rohinya yang sekarang tinggal di kamp pengungsi Hotel Pelangi, Medan.
Saleh menceritakan dia terpaksa mengungsi ketika pada 2009, pesantren tempatnya bersekolah didatangi aparat kepolisian. Saleh, yang tak tahu apa kesalahannya, tahu-tahu diancam hendak dimasukkan ke penjara.
Selagi ada kesempatan melarikan diri, Saleh pun kabur dari negara bagian Rakhine, Myanmar ke Banglades. Orang tua Saleh, bertahan di kamp pengungsian di Cox Bazar, Banglades, sedangkan Saleh memutuskan keluar dengan harapan bisa memiliki kehidupan yang lebih baik.
Berbekal uang Rp 5 juta, Saleh melakukan perjalanan darat dan laut dari Banglades ke Thailand. Perjalanan dilanjutkan ke Malaysia, namun dia stuck di Kupang, Nusa Tenggara Timur sejak 2012 sebelum akhirnya direlokasi ke Medan, Sumatera Utara sampai sekarang.
Di Indonesia, Saleh bertahun-tahun belum bisa melanjutkan perjalanan ke Australia atau pun negara ketiga lainnya. Sebab negara ketiga membatasi jumlah penerimaan pengungsi menjadi hanya 1 persen.
“Saya sendiri tidak tahu mau ke negara mana. Saya bukan mau mencari kesenangan, saya mencari negara yang aman,” kata Saleh kepada Tempo, Oktober 2021.
Saleh menceritakan sebagai kelompok minoritas di Myanmar, dia dan keluarganya menghadapi tindakan sewenang-wenang. Selama di Myanmar, mereka kerja paksa tanpa dibayar, bahkan terjadi pembunuhan.
Perempuan - perempuan etnis Rohingya, yang cantik, dijadikan pemuas nafsu. Masyarakat etnis Rohingya dibuat tidak betah.
Saleh sudah tinggal turun-temurun di Rakhine, Myanmar, bahkan sebelum negara Myanmar itu berdiri. Tindak kekerasan yang mereka alami pun bukan hal baru, namun sudah lama terjadi.
“Mereka benci karena kami orang Muslim. Kami tak tahu kenapa kami dibenci. Di Rakhine, banyak etnis Muslim yang dibunuh, harta dan rumahnya di rampas,” kata Saleh.
Saleh saat ini sudah terbebas dari kekerasan di Myanmar, namun kehidupannya sebagai pengungsi belum membawa ke arah yang lebih baik. Baginya, hidup sebagai pengungsi pun susah. Sebab mereka tidak diberi izin bekerja. Untuk kehidupan sehari-hari, para pengungsi bergantung dari dana bantuan yang disalurkan IOM (International Organisation for Migration).
Dana bantuan dari IOM itu, besarnya Rp1.250.000 untuk satu orang dewasa dan Rp500 ribu untuk anak-anak. Menurut Saleh, jumlah tersebut tidak cukup karena harga bahan-bahan kebutuhan pokok naik terus.
“Dulu beras Rp 7 ribu per liter sekarang Rp 13 ribu. Kalau lebaran, saya pusing tidak ada uang lebih untuk membeli baju lebaran anak,” kata Saleh.
Selain tak mendapat izin bekerja, seorang pengungsi tidak diperkenankan membuka rekening di bank, tidak bisa mendapatkan SIM dan tidak bisa keluar dari wilayah yang ditentukan.
Di tempat penampungan Hotel Pelangi Jalan Jiamnin Ginting, Medan, Saleh dan pengungsi lainnya hidup seperti terpenjara. Mereka menunggu tanpa kepastian kapan akan ditempatkan ke negara ketiga.
“Sedih jadi pengungsi itu, kami tidak bisa tengok orang tua. Hanya telepon sebulan sekali dengan orang tua. Saat bertelepon pun, sudah tak ada kata yang terucap, cuma nangis. Rasanya pingin mati saja, dari pada kami hidup sebagai pengungsi,” kata Saleh.
Saleh tinggal bersama istri dan dua anaknya di ruangan 3,5 x 3,5 meter, yang sudah termasuk dapur serta kamar mandi. Tidak banyak tersisa ruang untuk solat atau duduk dengan 2 anaknya.
Dia pun sering nelongso tidak bisa mengajak anak-anaknya jalan-jalan karena tak punya uang lebih dan tak punya KTP. Untung saja, akses pendidikan untuk anak-anak pengungsi tidak ditutup.
Menurut Saleh, sejak 2012 dia tinggal di kamp pengungsian Hotel Pelangi, sudah ada 12 orang etnis Rohingya yang meninggal karena sakit.
Kesedihan yang sama juga diceritakan oleh Malik, yang tidak mau dipublikasi identitas lengkapnya. Dia adalah pengungsi asal Banglades, yang tiba di Indonesia pada 2015.
Di pengungsian, dia bertemu dengan perempuan etnis Rohingya. Keduanya pun menikah pada 2016. Namun di mata hukum Banglades, Malik menyebut pernikahannya ini terlarang.
“Kalau Pemerintah Banglades tahu saya menikahi etnis Rohingya, saya bisa dipenjara 7 – 4 tahun. Itu aturan 2018,” ujar Malik kepada Tempo lewat sambungan telepon.
Selama pandemi Covid-19, Malik merasakan hidup sebagai pengungsi semakin berat. Jika sebelum pandemi Covid-19, dia dan beberapa pengungsi lain masih bisa keluar kamar untuk bermain futsal, sekarang kegiatan itu tidak bisa lagi dilakukan.
Kondisi ini membuat mereka semakin jenuh, sehari-hari hanya di dalam bilik kamar. Tidak ada aktivitas, cuma menjaga anak.
“Istri saya dari Myanmar dan kalau mau pulang lagi ke Myanmar pun, mereka (negara) tidak terima. Myanmar tidak mau memberikan identitas ke etnis Rohingya,” ujar Malik menggambarkan situasi hidupnya yang serba salah, karena pulang lagi ke Banglades pun bukan pilihan sebab negaranya tak mau menerima istrinya yang seorang etnis Rohingya.
Menurutnya, etnis Rohingya tidak bisa mengajukan permohonan pembuatan paspor ke Pemerintah Myanmar. Mereka tidak diberi kartu identitas karena dianggap bukan orang Myanmar.
Wartawan dan media menggambarkan etnis Rohingya sebagai salah satu kelompok minoritas paling teraniaya di dunia. Di bawah undang-undang nasional Myanmar 1982, etnis Rohingya tidak berhak mendapat kewarganegaraan Myanmar. Bukan hanya itu, ruang gerak mereka dibatasi, termasuk akses ke pendidikan dan hak mendapatkan pekerjaan sebagai aparatur sipil negara.
Infografik Pengungsi Etnis Rohingya di Indonesia
Data dari UNHCR menyebut, di Indonesia ada 665 orang pengungsi etnis Rohingya. Jumlah itu, termasuk bayi dan anak-anak.
UNHCR di Jakarta saat dihubungi Tempo menjelaskan bahwa mereka menyadari tantangan yang dihadapi para pengungsi di tengah pandemi Covid-19. Selama pandemi ini, semua aktivitas dan program UNHCR pun dilakukan secara online.
UNHCR meyakinkan tetap membuka pintu komunikasi dengan para pengungsi melalui berbagai platform online, diantaranya townhall meeting via zoom dan jalur hotline untuk sesi konseling individual. UNHCR juga menyediakan konseling yang berkaitan dengan COVID-19.
Untuk melindungi para pengungsi dari virus corona yang mematikan, UNHCR mendistribusikan perlengkapan kesehatan seperti masker, sabun, dan hand sanitizer. Mereka pun mendapat akses suntik vaksin Covid-19.
“UNHCR terus melakukan upaya advokasi agar para pengungsi bisa memiliki akses terhadap hak-hak dasar mereka, termasuk di dalamnya akses ke kesehatan, edukasi, pemberdayaan, dan sumber pencaharian,” demikian keterangan UNHCR.
Terkait penempatan pengungsi ke negara ketiga, UNHCR menjelaskan resettlement atau penempatan ke negara ketiga merupakan salah satu dari solusi jangka panjang bagi pengungsi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Keputusan menerima pengungsi ada sepenuhnya di negara-negara penerima, bukan di UNHCR.
Beberapa tahun belakangan ini jumlah kuota resettlement menurun secara drastis bagi pengungsi di seluruh dunia, tidak cuma di Indonesia. Setiap tahun, hanya sekitar 1 persen dari jumlah pengungsi di bawah mandat UNHCR di seluruh dunia yang diterima dan berangkat ke negara ketiga.
Oleh karena itu, proses resettlement pun berjalan lebih lama dan memakan waktu yang tidak sebentar. Ini artinya, para pengungsi etnis Rohingya pun harus kembali bersabar.
Baca juga: Taliban Pilih Anggotanya Jadi Gubernur dan Kepala Kepolisian Afghanistan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.