TEMPO.CO, Jakarta - Aparat gabungan TNI dan Polri diduga menjatuhkan bom lewat helikopter ke permukiman penduduk di Distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang, Papua.
Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib mengatakan pengeboman terjadi pada 10 Oktober 2021. Berdasarkan informasi yang ia peroleh dari masyarakat, ada 14 roket yang ditembakkan. “Satu yang meledak, sisa 13 tidak meledak,” kata Timotius kepada Tempo, Sabtu, 23 Oktober 2021.
Akibat peristiwa itu, diperkirakan ratusan hingga ribuan warga sipil terpaksa mengungsi ke hutan, kampung sekitarnya, hingga ke Papua Nugini. Timotius mengatakan penyerangan ini bermula insiden pembakaran fasilitas kesehatan pada medio September, yang berujung pada tewasnya seorang tenaga kesehatan. Aparat kemudian memburu Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB - OPM).
Menurut Timotius, pihak TNI dan Polri mencurigai ada kelompok OPM yang bersembunyi di rumah warga, sehingga target bom ke kampung warga. Timotius pun mendesak agar TNI dan Polri berhenti menyerang perkampungan warga sipil. Ia mengatakan pola semacam ini berulang seperti pengalaman yang terjadi di Puncak Jaya, Ilaga, Tolikara, hingga Lani Jaya.
"MRP berharap kepada TNI Polri supaya tidak melakukan perlawanan dengan penembakan bom karena itu sasarannya bukan ke TPM-OPM, tapi warga sipil yang tidak terlibat pun akan terkena imbasnya," ujarnya.
Juru bicara TPNPB - OPM, Sebby Sambom, menyampaikan informasi serupa. Ia mengatakan, pada Ahad pagi, 10 Oktober 2021, ada 14 bom yang dijatuhkan di dua tempat, yaitu markas TPNPB Kodap XV Ngalum Kupel dan Pos Misi GIDI UFM. Dalam serangan itu, Sebby mengatakan tidak ada korban jiwa dari anggotanya maupun warga setempat.
Pada Kamis, 20 Oktober 2021, Sebby menyampaikan bahwa markas TPNPB Kodap XV Ngalum Kupel di Kampung Kiwi, Distrik Kiwirok, mendapat serangan bom mortir melalui udara. Ia menuturkan bom dijatuhkan dari 4 helikopter, pada pukul 08.30 waktu setempat. “Beberapa bom roket yang ditembakkan belum berhasil meledak,” kata Sebby.
Pada Sabtu, 23 Oktober 2021, Sebby mengatakan bahwa serangan kembali terjadi di Kiwirok. Ia mengungkapkan, sejak 14-21 Oktober 2021, bom mortir dijatuhkan sebanyak 7 kali ke markas TPNPB, serta 42 bom ke permukiman penduduk di 4 kampung.
Kampung-kampung yang dijatuhkan bom adalah Kampung Pelebip, Kiwi, Delpem, dan Lolim. Di empat kampung tersebut, menurut Sebby, rumah warga sudah terbakar habis. “Dan 1 buah bom rudal telah berhasil ditangkap oleh TPNPB OPM Kodap XV ngalum kupel,” kata dia.
Juru bicara Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Christian Warinussy meminta aparat keamanan dan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sama-sama menahan diri sehubungan dengan peristiwa penyerangan di Kiwirok, Pegunungan Bintang.
“Kekerasan atau mengangkat senjata sampai kapanpun kami yakin tidak bakal menyelesaikan konflik dan perbedaan pemahaman, termasuk soal Papua Merdeka ataupun NKRI Harga Mati,” kata Yan dalam keterangannya, Ahad, 24 Oktober 2021.
Yan menuturkan, dugaan penembakan sejumlah amunisi senjata api jenis mortir ke tengah permukiman rakyat Papua di Kiwirok sangat berlebihan. Bahkan, cenderung dapat menimbulkan dampak terhadap situasi hak asasi manusia di Kiwirok dan sekitanya.
Menurut Yan, informasi tersebut sangat sulit ditutupi karena kecanggihan teknologi informasi. Ia mengatakan, jika kasus di Kiwirok terus terjadi, rakyat akan menjadi takut bukan saja kepada KKB, tapi juga terhadap TNI dan Polri. Sehingga, mereka akan memilih keluar mengungsi dan meninggalkan kampung halamannya, ke kota atau ke kampung lain bahkan melewati perbatasan RI dan negara tetangga Papua Nugini (PNG). “Tentu akibatnya secara politik sangat mengganggu posisi NKRI dalam percaturan politik internasional,” kata dia.
Aktivis Papua, Theo Hesegem, mengatakan bahwa penggunaan senjata berat seperti bom akan mengundang sorotan dari negara lain. Ia menilai, hal itu justru akan mempercepat Papua merdeka. “Yang menggunakan perang alat berat, itu mempercepat Papua bebas dari NKRI,” ujar Theo.
Ia mengatakan, senjata berat hanya digunakan dalam operasi militer. Sementara pemerintah selalu menyebut penegakan hukum. Theo juga menyarankan agar pemerintah menggunakan tindakan terukur dalam memburu TPNPB. Sebab, masyarakat sipil mengalami rasa takut, trauma, dan menjadi korban perang.
Direktur LBH Papua Emanuel Gobay mendesak pemerintah pusat dan provinsi bersama Komnas HAM membentuk tim khusus untuk melakukan investigasi secara komprehensif. Sebab, informasi mengenai fakta serangan tersebut masih minim.
“Maka kita minta pemerintah pusat dan provinsi membentuk tim dan memastikan penghormatan, perlindungan, dan penegakan HAM, khususnya bagi warga negara di sana,” kata Emanuel.
Komandan Korem 172/PWY Brigjen TNI Izak Pangemanan memastikan anggota TNI-Polri tidak ada yang membakar rumah warga di Kiwirok.
“Tidak benar anggota TNI maupun Polri melakukan pembakaran rumah warga seperti yang beredar di media sosial karena selama ini yang melakukan adalah kelompok sipil bersenjata, dengan membakar dan merusak berbagai fasilitas yang ada di Kiwirok,” kata Pangemanan.
Tempo juga berupaya meminta konfirmasi tudingan tersebut kepada Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Prantara Santosa, Pangdam VXII/Cenderawasih Mayjen Ignatius Yogo Triyono, dan Kapendam XVII/Cenderawasih Letkol Arm Reza Nur Patria. Namun tak satu pun yang menjawab.
Adapun Kepolisian Daerah Papua membantah terlibat dalam serangan bom ke permukiman penduduk di Kiwirok. “Polri dalam penegakan hukum kan jelas menggunakan senjatanya toh,” kata Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Musthofa Kamal.
Ahmad mengatakan Polda Papua saat ini masih melakukan pembinaan secara intensif di Kiwirok. Kepolisian, kata dia, juga masih melakukan penyelidikan terhadap pelaku pembantaian terhadap tenaga kesehatan di Puskesmas Kiwirok.
FRISKI RIANA | BUDIARTI UTAMI PUTRI | ANTARA