TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian RI panen kritik dalam beberapa pekan terakhir. Masyarakat berkeluh kesah lewat media sosial atas kinerja polisi yang dianggap kurang profesional.
Misalnya, ketika polisi menghentikan penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan anak di bawah umur di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, masyarakat kompak mengunggah tagar #PercumaLaporPolisi. Tagar itu juga memicu sebagian orang bercerita akan tak puasnya pelayanan Polri. Ditambah lagi, peristiwa anggota polisi yang membanting mahasiswa di Tangerang dan penetapan tersangka terhadap korban penganiayaan di Medan, menambah kencang kritik publik.
Kritik masyarakat itu tak berbalas respons positif justru ancaman meski bukan dari institusi yang bersangkutan. Fachrial Kautsar menyampaikan kekecewaannya di media sosial menerima banyak ancaman kekerasan hingga upaya peretasan akun. Fachrial melalui akun Twitternya @fchkautsar, sempat menulis 'Polisi se-Indonesia bisa diganti satpam BCA aja gak sih'. Ancaman itu datang dari sejumlah akun: dari yang anonim hingga yang memiliki foto profil berseragam polisi.
"Dari reaktifnya anggota kepolisian di media sosial atas keluhan, sindiran, kritikan publik menunjukkan anggota kepolisian tak siap dengan hal itu," ujar Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar, saat dihubungi pada Senin, 18 Oktober 2021.
Rivanlee menilai, respons institusi seharusnya dibedakan dengan respons personal. Ketika anggota kepolisian merespons secara personal dengan atribut kelembagaan, kata dia, justru yang terlihat malah tidak profesional. Apalagi sampai mengeluarkan ancaman atau intimidasi nonverbal lainnya.
Baca Juga:
"Mestinya dipandang sebagai bentuk koreksi terhadap bentuk pelayanan bukan ejekan terhadap institusi," kata Rivanlee. Ia menilai, Polri sedianya harus memahami bahwa kritik dalam bentuk aksi massa, sampai dengan keluhan atau sindiran di media sosial, adalah varian kritik yang terus tumbuh karena generasi serta variabel lain, seperti teknologi informasi, yang juga terus berkembang.
Polri, kata Rivanlee, tidak bisa terus memaksakan penilaian subjektif karena polisi harus bisa melindungi ekspresi warga negara yang menjadi bagian dari hak asasi manusia.
Sementara itu, Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arsul Sani menyarankan jajaran Polri untuk tidak melihat kritik yang diberikan masyarakat sebagai suatu ekspresi kebencian. Oleh karena itu, ia berharap tak ada dari pihak kepolisian yang kemudian membalas kritik masyarakat dengan respons negatif, seperti mengancam.
"Polri justru harus menyelidiki ketika ada gangguan, ancaman atau teror terhadap warga yang bersangkutan," kata Arsul saat dihubungi di hari yang sama. Selain itu, ia juga menilai perlu ada mata pelajaran tentang mengelola suara masyarakat di masa pendidikan calon anggota polisi.
"Di dalamnya dikembangkan pula management of public complaint," ucap Arsul.
Polri sebenarnya telah memiliki Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar Hak Asasi Manusia dalam pelaksanaan tugas-tugas Polri. Tertulis jika Polri harus menghormati HAM ketika melaksanakan tugas. "Dan kritik warga harus diresapi dengan wajar dan introspeksi kelembagaan karena nyatanya masih banyak kekecewaan oleh masyarakat atas laporan Polri. Polri jangan baper," kata Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso saat dihubungi.
Sugeng pun meminta Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mensosialisasi aturan tersebut. Hal itu agar seluruh anggota memiliki pemahaman yang tepat dalam merespons kritik.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan menegaskan institusinya tak antikritik. Ia justru menyatakan kritik yang sampaikan menunjukkan masyarakat peduli terhadap kinerja kepolisian. "Serta menginginkan kinerja kepolisian dengan lebih baik," kata Ramadhan pada 17 Oktober 2021.
ANDITA RAHMA
Baca: Kapolri Instruksikan Kapolda Bina Anggotanya Agar Tak Arogan