TEMPO.CO, Jakarta - Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing dipastikan hadir di KTT ASEAN yang berlangsung Sabtu esok, 24 April 2021. Hal itu menjadi kedatangan pertama sosok di balik kudeta Myanmar tersebut. Adapun ia akan terlibat dalam pembahasan berbagai isu regional ASEAN yang melibatkan delegasi dari 10 negara Asia Tenggara itu.
Sekretariat ASEAN memastikan krisis Myanmar akan menjadi salah satu isu regional yang akan dibahas saat KTT berlangsung. Bagaimana tidak, situasi Myanmar tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Demonstrasi warga menuntu kudeta diakhir masih berlanjut, diikuti dengan balasan berupa penangkapan secara sepihak atau pembantaian oleh Militer Myanmar.
Menurut laporan Asosiasi Bantuan Hukum untuk Tahanan Politik, total ada 737 orang yang tewas selama kudeta Myanmar berlangsung dari 1 Februari lalu. Adapun jumlah warga yang telah ditangkap, di mana salah satunya adalah Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, mencapai 3.229 orang.
Bagaimana ASEAN akan memanfaatkan kedatangan Min Aung Hlaing akan berperan penting untuk menentukan bagaimana krisis Myanmar bakal diselesaikan. Di sisi lain, juga mempertegas siapa yang sebenarnya pemerintahan yang sah di Myanmar, apakah junta militer atau tidak.
Ada berbagai pendekatan yang bisa diambil. Mantan Sekjen PBB Ban Ki-Moon menyarankan pendekatan yang lebih straightforward. Menurutnya, ASEAN harus terang-terangan menyatakan kepada Min Aung Hlaing bahwa mereka tidak bisa menerima aksinya di Myanmar dan bakal ada konsekuensi
"ASEAN harus menegaskan kepada Militer Myanmar (Min Aung Hlaing) bahwa situasi saat ini sungguh darurat, bahkan terlalu darurat untuk bisa disebut urusan internal saja," ujar Ban Ki-Moon, dikutip dari kantor berita Reuters, Selasa, 20 April 2021.
Seorang pria menggunakan ketapel saat mereka berlindung di belakang barikade selama protes terhadap kudeta militer, di Yangon, Myanmar, Ahad, 28 Maret 2021. Dilaporkan puluhan pendemo terluka dan meninggal saat aparat berupaya membubarkan kerumunan. REUTERS/Stringer
Ban Ki-Moon tahu bahwa Pasal 2 Huruf F Piagam ASEAN jelas-jelas mengatur bahwa negara anggota tidak boleh mencampuri urusan eksistensi nasional negara di Asia Tenggara. Namun, kata Ban Ki-Moon, ASEAN bisa membela diri dengan mengatakan kasus pembantaian dan penangkapan di Myanmar tidak bisa lagi dianggap isu regional.
Ban Ki-Moon berkata, penangkapan, pembunuhan adalah pelanggaran berat hak asasi manusia. Myanmar, secara teknis, telah melanggar hukum internasional. Anggota ASEAN bisa merespon hal itu sebagai bagian dari komunitas internasional, bukan regional.
"Aksi-aksi itu jelas bertentangan dengan hukum internasional dan bisa dinyatakan sebagai ancaman terhadap perdamaian, keamanan, dan stabilitas regional," ujar Ban Ki-moon menegaskan pandangannya.
Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid memberikan tanggapan senada. Ia meminta ASEAN bersikap tegas terhadap junta Myanmar. Menurutnya, walaupun ASEAN telah secara jelas menyatakan kesediaan membantu Burma, namun belum suara bulat soal penindakan terhadap pelanggaran HAM oleh junta Myanmar.
Sejauh ini, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina termasuk yang paling vokal melakukan dialog dan mengajukan penyelesaian secara damai. Di satu titik, bahkan sempat beredar kabar Indonesia mendukung pemilu baru di Myanmar dengan harapan itu menyelesaikan konflik. Publik Myanmar bereaksi keras, yang kemudian direspon dengan pernyataan klarifikasi.
Thailand, Vietnam, dan Laos memberikan sikap berbeda. Mereka memberi sinyal mendukung junta Myanmar dengan hadir ke Hari Angkatan Darat mereka, 27 Maret lalu. Nah, perbedaan posisi ini yang menurut Usman harus dituntaskan saat KTT agar ada satu suara terkait penyelesaian krisis.
"Kredibilitas ASEAN saat ini dipertaruhkan untuk membantu penyelesaian krisis di Burma, yang ditakutkan akan berimbas terhadap stabilitas kawasan," ujarnya.
Mahasiswa, guru, dan insinyur dari Universitas Teknologi Dawei menggelar protes terhadap kudeta militer, di Dawei, Myanmar 3 April 2021. Dawei Watch/via REUTERS
Baca juga: Panglima Min Aung Hlaing Bakal Hadiri KTT ASEAN di Jakarta
Perihal intervensi, lagi-lagi Usman sepaham dengan Ban Ki-Moon. Klausul tidak campur tangan jangan dijadikan alasan untuk tidak bersikap tegas menurut ia. Dan, Usman menambahkan, klausul itu mengacu pada norma hukum internasional yang berarti ada intervensi-intervensi yang diperbolehkan karena urgensinya.
"Prinsip itu bukan berasal dari ASEAN, melainkan berangkat dari norma hukum internasional," ujar Usman menegaskan. Sederhananya, harus ada keseimbangan antara bersikap tegas dan berkomunikasi dengan junta.
Sikap tegas bukan satu-satunya cara bagi ASEAN untuk merespon krisis Myanmar saat KTT nanti. Cara lainnya yang bisa diambil adalah tidak hanya berkomunikasi ke junta militer, tetapi juga pemerintahan sipil. Saat ini, pemerintahan sipil di Myanmar diwakili kabinet bayangan yang bernama Dewan Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (CRPH). Mereka jebolan administrasi Aung San Suu Kyi dan anggota parlemen yang batal dilantik.
CRPH sudah meminta untuk dilibatkan dalam KTT ASEAN. Klaim mereka, ASEAN belum menjangkau mereka dalam upaya penyelesaian krisis Myanmar. Padahal, menurut CRPH, penting mereka ikut dilibatkan dalam KTT karena jangan sampai kepentingan Militer Myanmar yang terdengar sementara sipil tidak di saat mereka yang memiliki legitimasi.
Permintaan CRPH tegas, ASEAN jangan mengakui pemerintahan junta Myanmar. Apabila CRPH bakal dilibatkan, maka ASEAN harus siap berbenturan dengan junta Myanmar. Kepada CRPH sendiri, ASEAN harus bisa menunjukkan bahwa mereka bakal fokus ke inti perkara yaitu pengakhiran kekerasan, pembebasan tahanan politik, serta demokrasi.
Benturan itu bisa dihindari apabila ASEAN solid. Situasi saat ini berkata sebaliknya. Dengan kata lain, jika ASEAN ingin meminimalisir potensi benturan, maka mereka harus bermain cantik antara kepentingan junta dan desakan CRPH dengan tujuan utama mengakhiri kekerasan, pembebasan tahanan politik, serta pemulihan demokrasi terlebih dahulu.
Situasinya tidak ideal, namun kedatangan Min Aung Hlaing adalah momentum ASEAN untuk menunjukkan sikap tegas sekaligus menghasilkan resolusi penyelesaian krisis sesegera mungkin. Hal itu baik soal kekerasan ataupun status pemerintahan. Kesempatan belum tentu datang dua kali dan situasi di Myanmar sudah terlalu buruk.
Baca juga: Pemerintah Sipil Myanmar Minta Diundang ke Jakarta
ISTMAN MP | REUTERS