Kebijakan larangan mudik dari sisi ekonomi akan memberikan dampak mendalam, khususnya bagi pelaku usaha pariwisata dan transportasi. Pada Oktober 2020 lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan kerugian yang dialami Bali selama masa pandemi, termasuk dengan adanya larangan mudik, mencapai Rp 9 triliun per bulan.
Kerugian terjadi akibat amblasnya jumlah kunjungan wisatawan. Dampak tersebut, tutur Luhut, memberikan pukulan yang berat bagi tenaga kerja lantaran terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK.
“Ini masalah besar yang harus dihadapi. Tenaga kerja formal di Bali mengalami PHK, baik itu pemandu wisata, buruh. Ada juga nelayan dan sebagainya,” ujar Luhut, 7 Oktober, dalam sebuah konferensi virtual.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, memprediksi ancaman kerugian sektor usaha akibat larangan mudik pada tahun ini bisa lebih dalam ketimbang 2020. Mempertimbangkan pelbagai kondisi, ia menduga larangan mudik bakal berpengaruh terhadap menyusutnya perekonomian di sektor wisata hingga 40-60 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
“Tahun lalu masyarakat masih punya tabungan, sekarang tabungan makin menipis apalagi untuk bepergian,” tuturnya.
Opsi larangan mudik pun dianggap akan menimbulkan dilema bagi pemerintah maupun kalangan usaha. Sebab di satu sisi masyarakat didorong menumbuhkan konsumsi, namun di sisi lain pergerakan kegiatan terus ditekan. Jika pemerintah memutuskan membatasi atau melarang mobilisasi penduduk, Bhima menilai negara harus mengambil jalan tengah, yakni menopang sektor industri melalui stimulus besar-besaran—khususnya bagi sektor pariwisata.
“Karena dikhawatirkan masa liburan yang diperpendek berpengaruh terhadap pendapatan sektor pariwisata, minimum hibah stimulus ke sektor pariwisata Rp 50-70 triliun dari saat ini yang sebesar Rp 30 triliun,” ucapnya menanggapi larangan mudik.