TEMPO.CO, - Para petinggi Iran berang begitu mengetahui salah satu ilmuwan nuklir ternamanya, Mohsen Fakhrizadeh, tewas akibat diberondong peluru di dalam mobilnya pada Jumat pekan lalu. Iran menuding Israel di balik peristiwa itu dan berjanji akan menuntut balas dengan keras.
Tiga hari berselang pascakematian Mohsen, belum ada kejelasan seperti apa Iran akan bertindak. Para pejabat Iran, mulai dari menteri hingga Presiden Hassan Rouhani dan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei masih melontarkan kecamannya atas pembunuhan ini.
Diako Hosseini, seorang peneliti senior di Pusat Studi Strategis, badan penelitian kantor presiden Iran, menilai Iran tidak akan terburu-buru bereaksi secara militer. Namun bukan berarti pembunuhan ini akan mereka biarkan.
"Saya pikir saat ini, mengevaluasi semua aspek pembunuhan ini dan secara hukum mengejarnya akan memiliki prioritas yang lebih tinggi bagi Iran," kata Hosseini dikutip dari Aljazeera, Senin, 1 Desember 2020.
Menurut Hosseini, pemerintah Iran paham bahwa tujuan dari pembunuhan ini adalah untuk kepentingan Israel. Ia menilai Israel ingin meningkatkan ketegangan sebelum masa jabatan Presiden Amerika Serikat Donald Trump habis.
“Israel ingin menyeret Iran dan AS ke dalam konfrontasi yang lebih besar yang akan membuat jalur diplomasi lebih sulit bagi pemerintahan AS berikutnya," ucap dia.
Hosseini mengatakan Israel tidak akan memperoleh apa-apa dari pembunuhan ini karena program nuklir Iran tidak bergantung pada individu. Iran memiliki struktur yang kokoh dan sejumlah besar ilmuwan muda.
Selama ini, Mohsen Fakhrizadeh dianggap oleh negara-negara barat dan Israel sebagai otak dari program nuklir Iran. Program yang ia pimpin diberhentikan pada tahun 2003 tapi, oleh banyak pihak, ia diyakini masih memimpin program-program nuklir Iran lainnya secara diam-diam.
Iran, pada 2015 lalu, ikut dalam kesepakatan nuklir dengan enam negara yang disebut sebagai JCPOA. Keenam negara itu adalah Amerika, Cina, Rusia, Jerman, Prancis, dan Inggris. Mereka tidak ingin program pengayaan nuklir Iran sampai di luar kendali hingga nantinya menjadi ancaman terhadap stabilitas regional di Timur Tengah.
Timbal balik untuk Iran, jika mengikuti kesepakatan JCPOA, adalah dihentikannya embargo perdagangan senjata oleh DK PBB. Pada Oktober kemarin, embargo tersebut berakhir.
Amerika, yang awalnya mendukung JCPOA, berbalik memprotesnya di masa pemerintahan inkumben Donald Trump. Menurut Donald Trump, JCPOA kurang tegas terhadap Iran. Selain itu, Donald Trump juga mempermasalahkan tidak tercover-nya pengembangan misil balistik dan milisi Iran di Irak, Lebanon, Suriah, serta Yemen dalam kesepakatan JCPOA.
Ujungnya, Donald Trump menarik Amerika dari JCPOA dan menjatuhkan sanksi perdagangan terhadap Iran. Sektor Migas Iran termasuk salah satu yang terpukul oleh sanksi tersebut. Di sektor lain, mereka terpaksa swasembada.
Sementara presiden AS terpilih, Joe Biden, dalam kampanye-kampanye, beberapa kali menyatakan ia akan membawa Amerika kembali ke JCPOA, bahkan memperluas cakupannya. Namun, ia juga meminta sikap kooperatif dari Iran agar mereka kembali menekan program nuklirnya. Jika tidak, maka sanksi lebih berat mengancam.
Adapun Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, meminta Joe Biden untuk tidak kembali ke JCPOA. Menurutnya, lebih baik Amerika tetap berada di luar kesepakatan tersebut.
"Jangan sampai kembali ke kesepakatan nuklir tersebut. Kita harus tegas dan tanpa kompromi dalam mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir," ujar Netanyahu dalam pidatonya di Israel, sebagaimana dikutip dari kantor berita Reuters, Senin, 23 November 2020.
ALJAZEERA | REUTERS
https://www.aljazeera.com/news/2020/11/28/harsh-revenge-how-will-iran-respond-to-scientists-killing