TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah mengeluarkan Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Instruksi yang ditujukan pada kepala daerah itu dikeluarkan sehari setelah Presiden Joko Widodo memerintahkannya untuk mengingatkan kembali para kepala daerah terkait pentingnya protokol Covid-19.
Dalam instruksi itu, Tito menyinggung kewajiban kepala daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Ia mewanti-wanti bahwa kepala daerah yang melanggar peraturan perundang-undangan bisa diberhentikan. Secara total, ada 6 poin yang tertuang di dalam instruksi tersebut.
"Menegaskan konsistensi kepatuhan protokol kesehatan Covid-19 dan mengutamakan keselamatan rakyat," demikian bunyi paragraf pertama instruksi tersebut.
Poin instruksi lain berisi pengingat bahwa adanya kewajiban dan sanksi bagi kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan, atau membiarkan hal ini terjadi. Pasal 78 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menemui Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota DKI, 17 Maret 2020. Mereka membahas penanggulangan virus corona di Ibu Kota. Tempo/Imam Hamdi
Tito menebalkan adanya poin bahwa kepala daerah dapat diberhentikan. Dari sembilan penyebab pemberhentian kepala daerah, Tito menebalkan dua poin, yakni dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b; dan tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b.
Polemik muncul di poin instruksi nomor 5, yang berbunyi 'Berdasarkan instruksi pada Diktum keempat, kepala daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi pemberhentian.' Kemendagri, dinilai melangkahi wewenang mereka dengan memberi sanksi pemberhentian kepala daerah.
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, menilai bahwa instruksi itu tak proporsional. Meski tidak bertentangan dengan undang-undang lain, namun ia menilai Kemendagri tak perlu hingga mengeluarkan instruksi bernada ancaman pemberhentian.
"Secara esensi saya setuju kepala daerah harus dong tanggung jawab, ini masa pandemi kok bisa dibiarkan begitu ada kumpul-kumpul. Cuma harus dilihat juga secara proporsional bahwa pemberhentian Kepala Daerah itu tak lagi bisa dilakukan begitu saja oleh Mendagri," kata Bivitri.
Ia mengatakan kepala daerah saat ini dipilih secara langsung. Artinya, mereka tak bisa semerta-merta diberhentikan secara sepihak oleh Menteri Dalam Negeri. Dibutuhkan proses yang panjang sebelum akhirnya kepala daerah bisa diberhentikan. Mulai dari keputusan politik di DPRD, hingga kemudian dibawa ke Mahkamah Agung.
Prosedurnya hampir sama dengan pemakzulan presiden yang tak bisa dilakukan semerta-merta. "Jadi prosesnya masih panjang sekali, tak bisa langsung seperti itu," kata dia.
Bivitri justru melihat langkah Tito menerbitkan instruksi ini adalah bentuk reaksi semata setelah ia dimarahi oleh Jokowi sebelumnya. Banyak yang menduga, Tito dinilai tak bisa mengingatkan kepala daerah, setelah terjadi kerumunan besar saat kepulangan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, pada 10 November lalu.
Selain penyambutan besar-besaran di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, terjadi pula acara besar-besaran di Petamburan, Jakarta Pusat, Tebet Timur, Jakarta Selatan, hingga Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Kerumunan besar merupakan langkah mundur dari upaya pengendalian Covid-19 yang selama ini terus dilakukan pemerintah.
"Jadi kenapa pakai instruksi Mendagri seperti ini, menurut saya itu respon dari Mendagri karena habis dimarahi oleh Presiden. Jadi dia harus menunjukan kekuasaannya kepada kepala-kepala daerah," kata Bivitri
Senada dengan Bivitri, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bahwa langkah Tito ini juga ia nilai hanyalah gertakan.
"Menurutku instruksi itu untuk menakut-nakutkan saja dan terkesan dibentuk untuk kepentingan politik kekinian saja," kata Feri saat dihubungi Tempo, Kamis, 19 November 2020.
Feri juga menegaskan bahwa proses pemakzulan (impeachment) kepala daerah, harus tetap berdasarkan pada Undang-Undang Pemerintah Daerah. Karena itu, ia tak yakin instruksi ini serius dibuat oleh Kemendagri. "Menurutku ini gertakan saja," kata Feri.
Belakangan, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal pun akhirnya menegaskan bahwa Mendagri memang tidak dapat memberhentikan kepala daerah. Surat itu, kata dia, diterbitkan hanya sebagai pengingat bagi kepala daerah untuk menegakkan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 ini.
"Sementara sanksi-sanksi bagi kepala daerah yang tidak menegakkan sudah diatur di dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, dalam UU Wabah, dalam UU 23/2014 tentang kepala daerah. Kami hanya mengingatkan, barangkali lupa baca karena terlalu sibuk," ujarnya.
EGI ADAYATAMA | DEWI NURITA | BUDIARTI PUTRI UTAMI