TEMPO.CO, Jakarta - Kerumunan acara yang digelar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dan Rizieq Shihab pada akhir pekan lalu berimbas di Markas Besar Polri.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Idham Azis mencopot Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana dan Kapolda Jawa Barat Inspektur Jenderal Rudy Sufahradi Novianto. Keduanya dicopot setelah dinilai tidak melaksanakan perintah terkait pengamanan protokol kesehatan atas sejumlah kegiatan yang diselenggarakan Rizieq.
"Ada dua Kapolda yang tidak melaksanakan perintah dalam menegakkan protokol kesehatan, maka diberikan sanksi berupa pencopotan yaitu Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat," ujar Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono di kantornya, Jakarta Selatan, pada Senin, 16 November 2020.
Mutasi Nana dan Rudy tertuang dalam ST/3222/XI./KEP/2020 tertanggal 16 November 2020 dan ditandatangani oleh Asisten Sumber Daya Manusia Inspektur Jenderal Sutrisno Yudi Hermawan.
Setelah enam kali batal pulang, Rizieq akhirnya tiba di Indonesia pada 10 November 2020. Kedatangannya disambut para pendukungnya yang berkumpul di Bandara Soekarno-Hatta. Beberapa hari kemudian, Rizieq mulai menjalani aktivitasnya yakni peletakan batu di Mega Mendung, menyelenggarakan akad nikah putrinya, sekaligus merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di daerah Petamburan.
Keadaan ini membuat pemerintah menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Salah satu yang mendapat kritik adalah kepolisian. Sedari Maret 2020, Kepala Kepolisian RI Jenderal Idham Azis terus mengimbau masyarakat untuk menaati protokol kesehatan.
Untuk memberikan efek jera, kepolisian lantas mengancam akan menghukum masyarakat yang melanggar. Mulai dari teguran, sanksi denda hingga kurungan penjara. Salah satu kasus yang mendapat perhatian publik adalah ketika polisi menetapkan Wakil Ketua DPRD Kota Tegal, Jawa Tengah, Wasmad Edi Susilo sebagai tersangka setelah menjadi inisiator gelaran konser dangdut di tengah pandemi Covid-19. Wasmad dikenakan UU Karantina Kesehatan.
Namun, di hadapan Rizieq, Polri seakan lunak. Dalam serangkaian acara kegiatan pentolan FPI itu, kepolisian tak terdengar memberikan sanksi, atau sekedar menegur ketika kerumunan tak terhindarkan.
Indonesia Police Watch (IPW) pun menyayangkan Polri yang dinilai tak berdaya. "Dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan Rizieq sepulang ke Indonesia, polisi tak berdaya membubarkannya. Dari kasus ini terlihat polisi hanya berani pada masyarakat yang tidak punya pengaruh dan takut pada figur yang berpengaruh," kata dia saat dihubungi pada Ahad, 15 November 2020.
Senada dengan IPW, Setara Institute melihat pemerintah yang membiarkan Rizieq Shihab menggelar acara menjadi paradoks kepemimpinan politik Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam penanganan Covid-19.
Perilaku pemerintah, kata Hendardi, telah melukai masyarakat. Sikap Jokowi yang membiarkan kerumunan justru menjadi bukti kegagalan seorang presiden.
"Seharusnya sebagai seorang presiden segera memerintahkan Kapolri untuk menindak kerumunan, mempertegas dan menindaklanjuti kasus-kasus hukum yang melilit Rizieq, dan mendisiplinkan kepala daerah yang pasif membiarkan kerumunan," kata Hendardi.
Menjawab kritik masyarakat, Kepala Kepolisian RI Jenderal Idham Azis memutuskan untuk mencopot dua anak buahnya. Inspektur Jenderal Nana Sudjana selaku Kapolda Metro Jaya dan Inspektur Jenderal Rudy Sufahradi Novianto sebagai Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, dianggap melanggar amanatnya.
"Apabila dalam penegakan penerapan protokol kesehatan Covid-19, ditemukan adanya upaya penolakan, ketidakpatuhan atau upaya lain yang menimbulkan keresahan masyarakat dan mengganggu stabilitas, maka akan dilakukan upaya penegakan hukum secara tegas terhadap siapapun," ucap Idham.
Selain itu, kepolisian juga mengirimkan surat pemanggilan terhadap seluruh pihak yang dinilai bertanggung jawab terkait kerumunan dalam acara resepsi pernikahan puteri Rizieq Shihab. Termasuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Rizieq.
Seluruhnya bakal diperiksa dengan tindak pidana Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, dengan hukuman penjara maksimal 10 tahun.