TEMPO.CO, Jakarta - Semangat kebebasan berpendapat di masa pemerintahan Jokowi - Ma'ruf Amin kembali mendapat ancaman. Penggunaan aparat sebagai kepanjangan tangan pemerintah menekan suara masyarakat, dinilai semakin masif. Caranya pun semakin kreatif. Tak hanya lewat kriminalisasi, tapi upaya dilakukan bahkan sebelum suara-suara dikeluarkan.
Merujuk pada hasil sigi Indikator Politik Indonesia pada Ahad, 25 Oktober 2020, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat juga menunjukan kecenderungan semakin turun. Survei Indikator menunjukan adanya 57,7 persen masyarakat sepakat bahwa aparat semakin semena-mena dalam menangkap warga yang tak sejalan pandangan politiknya dengan pemerintah.
Adapun yang tak sepakat dengan hal ini, mencapai 36,5 persen dan yang tak menjawab 5,8 persen. Survei tersebut dilakukan pada 24 September hingga 30 September 2020 terhadap 1.200 responden, dengan menggunakan panggilan telepon karena pandemi Covid-19.
"Publik menilai bahwa Indonesia makin tidak demokratis, semakin takut warga menyatakan pendapat, semakin sulit warga berdemonstrasi, dan aparat dinilai semakin semena-mena, maka kepuasan atas kinerja demokrasi semakin tertekan," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, saat mengumumkan hasil temuan lembaganya.
Elemen gabungan mahasiswa melakukan aksi demo di sekitar kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Selasa 20 Oktober 2020. Mahasiswa kembali menggelar aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada 20, 21 dan 22 Oktober 2020. Tanggal itu dipilih karena bertepatan dengan setahun dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo atau Jokowi - Ma'ruf Amin. Jokowi dan Ma'ruf Amin dilantik sebagai presiden dan wapres periode 2019-2024 di Gedung MPR. Selain itu, pada tanggal yang sama pula Jokowi mengungkapkan keinginannya untuk menerbitkan omnibus law UU Ciptaker. TEMPO/Subekti.
Indikator dalam surveinya juga menanyakan soal setuju tidaknya warga makin sulit berdemonstrasi. Hasilnya sebanyak 20,8 persen menyatakan sangat setuju bahwa warga makin sulit berdemonstrasi, dan 53 persen responden menyatakan agak setuju warga makin sulit berdemonstrasi.
Sementara hanya 19,6 persen responden yang menyatakan kurang setuju bahwa warga makin sulit turun ke jalan. Kemudian hanya 1,5 persen responden tidak setuju sama sekali dengan pernyataan bahwa warga makin sulit berdemonstrasi.
Terkait kebebasan berpendapat, sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyampaikan uneg-unegnya. Kemudian sebanyak 21,9 responden menyatakan bahwa warga sangat setuju makin takut menyatakan pendapat.
"Survei menunjukan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat," ujarnya.
Juru Bicara Fraksi Rakyat Indonesia, Asep Komarudin, mengatakan represi dari aparat ini semakin menunjukan bentuknya belakangan, usai pemerintah menyetujui omnibus law. Dalam aksi penolakan Undang-Undang atau UU Cipta Kerja yang dilakukan elemen buruh, masyarakat, hingga mahasiswa, upaya pembungkaman yang ditunjukan jelas terlihat. Hal ini terjadi sepanjang aksi yang dilakukan dari 6 Oktober hingga 22 Oktober kemarin.
"Dari beberapa kota dan laporan dari teman-teman aliansi nasional di berbagai daerah, kami melihat terdapat pola yang sama yang dilakukan terhadap masyarakat," kata Asep saat dihubungi Tempo, Senin, 26 Oktober 2020.
Kapolri pun sebenarnya telah melegitimasi langkah-langkah jajarannya dengan menerbitkan Surat Telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020. Beberapa instruksi di antaranya melaksanakan giat fungsi intelijen dan deteksi dini; mencegah, meredam, dan mengalihkan aksi unjuk rasa dengan dalih mencegah penyebaran Covid-19; patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk membangun opini publik yang tak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi.
Kemudian ada juga arahan untuk kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah; secara tegas tak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya; melakukan upaya di hulu atau titik awal sebelum berkumpulnya massa; dan penegakan hukum menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum untuk Semua (YLBHI) Asfinawati mengatakan upaya represi aparat terhadap kebebasan berpendapat sudah terlihat sejak 2015. Namun ia mengatakan dalam beberapa waktu belakangan, hal ini kemudian lebih sering dilakukan.
Asfin mengatakan termasuk terjadi pada saat aksi demonstrasi menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja kemarin. YLBHI menemukan sejumlah modus yang digunakan aparat untuk menekan kebebasan berpendapat ini.
Mereka membaginya ke dalam 11 bagian, yakni melalui pendidikan, melalui serangan digital, penghalang-halangan aksi, kriminalisasi, mengubah pemberitahuan menjadi ijin menggunakan alasan Covid, framing dan fitnah pendemo sebagai perusuh, penggunaan ormas, intimidasi orang tua, menggunakan SKCK sebagai ancaman agar orang tidak berdemonstrasi, framing bahwa yang berhak aksi hanya buruh dan mahasiswa tepatnya buruh dan mahasiswa yang menggunakan seragam, dan menggunakan Perusahaan untuk menghalang-halangi aksi.
"Aksi-aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja menunjukkan Surat Telegram Kapolri 2020 benar-benar dijalankan. Tujuan utama adalah menghambat, menghalang-halangi hingga menggagalkan demonstrasi," kata Asfin.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono membantah tudingan adanya upaya sengaja dari Polri untuk menekan suara rakyat. Meski mengatakan tetap menghormati hasil survei Indikator Politik Indonesia, ia mengatakan selama ini Polri sudah bekerja sesuai prosedur yang ada.
"Dalam sistem peradilan pidana ada mekanisme kontrol kalau ada masyarakat tak setuju atas penangkapan polisi, ada mekanisme pra peradilan. Silakan ajukan praperadilan apabila polisi dianggap sewenang-wenang dalam penangkapan," kata Awi.
Kepala Staf Presiden Moeldoko ikut membantah adanya upaya pemerintah untuk menutup pintu kebebasan berpendapat. Pun halnya dalam berbagai aksi penolakan terhadap Omnibus Law selama ini, Moeldoko mengatakan pemerintah justru telah terbuka dan menerima aspirasi masyarakat.
"Pada dasarnya persoalan kebebasan berpendapat tak ada yang berubah. Tiap hari di depan Istana ada demonstrasi. Tak ada yang mengusik," kata Moeldoko seperti dikutip dari Koran Tempo edisi Senin 26 Oktober 2020.
Meski begitu, Asep Komarudin dari Fraksi Rakyat Indonesia mengatakan berbagai upaya pengekangan terjadi. Termasuk dalam rencana aksi demonstrasi yang akan mendatang. Hal ini, kata dia, terlihat dari mulai adanya sejumlah koordinator aksi di beberapa daerah yang dipanggil polisi. Dengan dalih pemeriksaan karena menimbulkan kerumunan, mereka diperingatkan.
Dalih protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 memang dinilai menjadi salah satu cara baru aparat menekan upaya aksi. Selain menekan sebelum aksi, Asep mengatakan penghancuran kebebasan berpendapat juga dilakukan setelah aksi dilakukan. Para demonstran ditangkapi dan dilabeli sebagai perusuh.
Karena itu, Asep mengatakan sejak awal, koalisi masyarakat yang turun aksi ke jalan selalu menghimbau untuk menjaga protokol kesehatan dan tak terbawa aksi kerusuhan. Namun nyatanya, Asep mengatakan kekerasan tetap dilakukan polisi. Dalam beberapa kasus, bahkan terjadi penyiksaan.
"Kerusuhan itu perlu ditelisik lebih dalam, tak bisa ketika terjadi kerusuhan, otomatis melabeli yang ikut aksi itu terlibat (dalam kerusuhan). Jika terjadi kekerasan, polisi harusnya melakukan penyelidikan yang proper, tidak dilakukan secara serampangan," kata Asep.
EGI ADYATAMA | DEWI NURITA | KORAN TEMPO