TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah serangan terhadap media bukan hal baru dalam dunia jurnalistik. Namun belakangan, aksi ini semakin marak dan terjadi dalam bentuk serangan digital, yakni peretasan terhadap situs media tersebut. Koalisi masyarakat menilai serangan ini merusak demokrasi.
Setidaknya ada dua media yang telah melaporkan adanya serangan, yakni Tempo.co dan Tirto.id. Diketahui beberapa artikel Tirto.id terkait obat virus Corona yang menyinggung keterlibatan BIN dan TNI, sempat mendadak hilang.
Adapun Tempo.co, sempat lumpuh sepenuhnya saat pelaku melakukan website defacement atau perusakan situs web. Yaitu mengubah tampilan visual situs dengan membobol server, dan mengganti wajah situs dengan pesan yang pelaku inginkan.
Human Rights Working Group juga ikut mengutuk peretasan terhadap Tempo.co. Mereka menyebut hal ini adalah kejahatan siber. Ini juga ia nilai serangan langsung terhadap kerja pers, kebebasan berekspresi, HAM, dan demokrasi di Indonesia.
"Apalagi menyangkut sebuah situs berita yang kredibel yang kerja-kerjanya sangat dibutuhkan sebagai kontrol sosial dan sarana edukasi publik," kata Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz.
Hafiz menegaskan berdasarkan Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999, barang siapa yang menghalang-halangi kerja pers adalah tindakan pidana yang mengancam kebebasan pers.
Ia pun menilai, peristiwa ini bukan semata soal Tempo sebagai sebuah perusahaan media. Tetapi hak asasi warga negara atas informasi yang potensial dilanggar dan ancaman terhadap demokrasi yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia.
"Media adalah salah satu tonggak demokrasi dan HAM di sebuah negara. Dengan mengabaikan kasus penyerangan terhadap aktor media hal itu sama halnya membuka jalan pada otoritarianisme," ucap Hafiz.
Kedua kasus ini bukanlah kasus intimidasi dan serangan digital pertama. Sebelumnya ada juga peretasan akun Twitter pribadi epidemiolog Pandu Riono yang kerap mengkritisi kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19.
Dari data Amnesty Internasional Indonesia catat, pada bulan April silam, kasus serupa terjadi kepada aktivis Ravio Patra yang secara terbuka mengkritik kekurangan transparansi data tentang pasien COVID-19. Berdasarkan catatan Amnesty, dari Februari hingga 21 Agustus 2020, setidaknya terdapat 39 kasus dugaan intimidasi dan serangan digital terhadap mereka yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah.
Padahal, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, mengatakan hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCCP. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E dan 28F UUD, serta pada Pasal 14 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
"Peretasan akun twitter pribadi Pandu Riono dan laman berita Tempo.co adalah pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kedua kasus peretasan ini dengan jelas mengarah kepada mereka yang berani mengkritik kebijakan pemerintah," ujar Usman
Tren menurunnya kebebasan berpendapat ini sebenarnya telah mulai nampak sejak 2019. Indeks Demokrasi Indonesia 2019 yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan adanya penurunan variabel Kebebasan Berpendapat dari 66,17 pada 2018 ke 64,29 pada 2019, atau turun 1,88 poin.
Meski dari data BPS secara umum Indeks Demokrasi Indonesia 2019 naik, namun variabel kebebasan berpendapat menjadi salah satu yang paling besar penurunannya. Penurunan ini didasarkan dari dua indikator, yakni ancaman/penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat dan ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat.
Dari indikator ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat, sebenarnya terjadi kenaikan dari 45,96 ke 57,35. Namun yang menonjol adalah ancaman /penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat yang anjlok dari 70,22 pada 2018 menjadi 65,69 pada 2019.
Indikator ini hampir mencapai angka 60, atau batas suatu indikator dinilai buruk. Saat ini masih ada 6 indikator yang disebut BPS masih di bawah 60.
"Ke depannya ada 6 indikator yang terus diperbaiki karena angkanya di bawah 60," ujar Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, saat mengumumkan hasil IDI 2019, Senin, 3 Agustus 2020.
Temuan serupa juga muncul dari penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 19 Agustus 2020 lalu. Survei mereka lakukan kepada 38 peserta terpilih, yang karena keragaman gender, usia, profesi dan awal wilayahnya dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia.
Hasilnya, sebagian besar responden melihat bahwa demokrasi di Indonesia berada dalam situasi yang suram berupa kemunduran, yakni sebesar 44,7 persen.
"Yang menilai terjadi stagnasi/kemandegan 23,7 persen bahkan tak sedikit yang menilai kita telah berada dalam otoriterisme, 28,9 persen. Hanya 2,7 persen responden yang menilai demokrasi kita mengalami kemajuan," kata Direktur LP3ES Wijayanto.
Desakan pun membanjiri pemerintah pusat agar segera mengusut kasus peretasan ini. Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia mengatakan negara juga harus menjamin bahwa hak kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dilindungi.
"Pembungkaman informasi, apalagi terkait pandemi yang tengah berlangsung, tidak hanya melanggar hak atas informasi yang dijamin dalam hukum HAM internasional, namun juga berpotensi melanggar hak atas kesehatan," kata Usman.