TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapat banyak sorotan dalam pelaksanaan Program Organisasi Penggerak (POP) yang diinisiasi untuk memberikan pendidikan yang memadai bagi anak-anak di Indonesia. Program beranggaran sekitar Rp 595 miliar itu dinilai memiliki banyak celah yang bisa memicu penyimpangan.
Bahkan Federasi Serikat Guru Indonesia meminta Inspektorat Jenderal Kemendikbud, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi mengawasi pelaksanaan Program Organisasi Penggerak (POP). "Kami berharap KPK ikut melototi, dan dilibatkan mulai dari persiapan, pelaksanaan, nanti supervisi, evaluasi anggaran seperti apa," kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim, Senin 27 Juli 2020.
Kekhawatiran Satriawan bukan tanpa alasan. Duit yang digelontorkan Kemendikbud bagi para organisasi penerima program ini tak sedikit. Kemendikbud membagi tiga kategori bagi OP penerima yakni Gajah, Macan dan Kijang. Untuk Gajah dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp 20 miliar per tahun, Macan Rp 5 miliar per tahun, dan Kijang Rp 1 miliar per tahun.
Permasalahan muncul di saat seleksi masuk OP yang mendaftar. Kriteria bagi OP mana yang mendapat kategori Gajah, Macan, atau Kijang, dinilai tak jelas. Bahkan belakangan, tiga organisasi besar yang telah dipastikan menerima program ini, memutuskan keluar. Mereka adalah Majelis Pendidikan Dasar-Menengah PP Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif Nahdlatul Ulama, dan Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGRI).
Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Kasiyarno, menyebut dengan kriteria yang ada sekarang, pembagian dan standar kelayakan organisasi yang daftar sangat bias. Jika dibiarkan seperti saat ini, ia khawatir akan ada organisasi abal-abal yang juga masuk dan mendapat dana POP tersebut.
"Kriteria pemilihan dan penetapan peserta POP yang harus dievaluasi. Kriteria pemilihan itu ada kategori banyak, di situ tak jelas. Yang bisa siapa saja, OP yang seperti apa, kan mestinya ada pembeda," kata Kasiyarno pada Ahad, 26 Juli 2020.
Ia menduga yang akhirnya menentukan OP masuk ke kategori mana, adalah lembaga independen yang bekerja sama dengan Kemendikbud. Padahal, ia menilai seharusnya Kemendikbud yang melakukan seleksi dan melihat OP mana saja yang memang memiliki track record benar.
Seharusnya, Kasiyarno mengatakan OP yang benar memiliki track record yang tercatat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kriteria, hal ini juga bisa menjadi salah satu persyaratan yang bisa dimasukkan.
"Mungkin juga bisa usia OP itu sendiri (jadi kriteria). Bisa juga dilihat meski sudah lama, kalau programnya banyak kosong kan juga tak bisa. Track record ini bisa dilihat juga dilacak, berapa sering. Harus bisa dibuktikan dan tak hanya omongan," kata Kasiyarno.
Hal senada dikeluarkan oleh PGRI. Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mengatakan POP tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Ia pun melihat pelaksanaanya rentan hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. "Karena waktu pelaksanaan yang singkat," kata Unifah.
PGRI juga menilai kriteria pemilihan dan penetapan peserta POP tidak jelas. Padahal, mereka memandang bahwa dana yang dialokasikan untuk POP akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk membantu siswa, guru, atau guru honorer, penyediaan infrastruktur di daerah. Khususnya di daerah tertinggal, terdepan dan terluar, demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) di era pandemi.
Atas desakan sejumlah pihak, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menyatakan lembaganya akan memantau pelaksanaan Program Organisasi Penggerak. "Tentu saja ada pemantauan KPK terhadap program-program semacam ini karena salah satu tugas dan fungsi KPK yang diamanatkan dalam Pasal 6 huruf c UU 19 Tahun 2019 adalah tugas monitoring," kata Nawawi beberapa waktu lalu.
KPK, lanjut Nawawi, dapat mendalami POP tersebut melalui kajian sebagaimana yang telah dilakukan terhadap program-program lain. "KPK akan mendalami program dimaksud, bisa dalam bentuk kajian sebagaimana yang dilakukan terhadap program-program lain seperti BPJS, (kartu) prakerja dan lain-lain," tuturnya.
Selain itu, ia juga mengapresiasi langkah yang dilakukan beberapa organisasi kemasyarakatan yang menyatakan mundur dari program tersebut. Menurut dia, langkah tersebut dipandang sebagai sikap hati-hati dan wujud dari nilai pencegahan yang tumbuh dalam organisasi tersebut.
"Sikap itu dapat dipandang sebagai cerminan sikap hati-hati dan wujud nilai pencegahan yang tentu lahir dari nilai-nilai mendasar yang tumbuh dalam organisasi-organisasi tersebut," kata Nawawi.
Meski banyak cibiran, ada juga organisasi yang optimistis dengan POP. Dompet Duafa yang tergabung dalam program ini mengatakan seleksi program dilakukan sangat ketat. "Kami berkeyakinan Kemendikbud telah merancang POP dengan baik dan serius," ujar Direktur Pendidikan Dompet Dhuafa, Muhammad Syafi’ie El-bantanie, dalam keterangan tertulisnya.
Dia menjelaskan, Dompet Dhuafa merupakan lembaga sosial dan kemanusiaan yang berkhidmat memberdayakan masyarakat marjinal melalui lima pilar program, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan dakwah.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menyatakan proses dalam POP akan dievaluasi. "Kami ingin memastikan bahwa yang telah kita lakukan, dengan standar integritas yang tinggi," ujar Nadiem. Ia meminta lembaga yang sudah masuk seleksi tak perlu cemas, evaluasi lanjutan itu untuk memastikan integritas program tersebut terjamin. Evaluasi akan dilakukan dalam waktu tiga pekan dan dilakukan secara intensif dengan melibatkan banyak pihak.
Untuk parameter yang dievaluasi adalah pertama, apakah sudah mengikuti standar akuntabilitas terbaik tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia. Audit, yang tidak hanya internal tapi juga membawa pihak eksternal. Kedua, setiap ormas harus diverifikasi lagi untuk memastikan kredibilitas dan integritas masing-masing ormas itu terjamin.
"Kami berhati-hati melakukan pendalaman. Ketiga, masing-masing ormas harus memastikan program yang mereka lakukan bisa dilakukan di masa pandemi ini. Pelatihan dan lainnya pada masa pandemi ini harus kami dalami," jelas Nadiem.
Mereka yang dilibatkan dalam evaluasi itu adalah ormas yang sudah berpuluh tahun berdedikasi di dunia pendidikan, dan pakar pendidikan.
EGI ADYATAMA | FRISKI RIANA | ANTARA