TEMPO.CO, Jakarta - Rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel semakin rumit. Berbagai masalah dan protes bermunculan untuk mencegah pencaplokan secara unilateral itu terjadi. Saking bermasalahnya, rencana aneksasi yang sudah pasti pun belum ada. Padahal, aneksasi Tepi Barat sudah berulang kali dikatakan Pemerintah Israel akan berlangsung esok hari, Rabu, 1 Juli 2020.
Perkembangan terbaru, Senin kemarin, Pemerintah Israel menyatakan bahwa aneksasi Tepi Barat tidak akan mengikutkan Lembah Yordan. Hal itu kontras dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya di mana Lembah Yordan selalu dianggap bagian dari rencana aneksasi Tepi Barat. Menurut anggota parlemen dari Partai Yamina, Ayelet Shaked, keputusan itu diambil oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sendiri untuk meredam protes dari negara-negara Arab.
"Dia bekerja selama tiga tahun untuk rencana ini dan bisa melakukan perubahan pada rencana itu selama koalisinya setuju," ujar Shaked sebagaimana dikutip dari The Jerusalem Post, 29 Juni 2020.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberi isyarat saat ia menyampaikan pernyataan selama kunjungannya di hotline nasional Kementerian Kesehatan, di Kiryat Malachi, Israel 1 Maret 2020. [REUTERS / Amir Cohen]
Plin plan-nya Netanyahu, ditambah rencana yang belum jelas sehari sebelum eksekusi, membuat berbagai pihak skeptis dengan rencana aneksasi. Ada yang mengatakan bahwa aneksasi Tepi Barat hanyalah lip service untuk konservatif. Hal tersebut masuk akal mengingat Netanyahu selalu menggunakan isu aneksasi untuk menjaga pengaruhnya di Partai Likud dan dukungan simpatisannya.
Kemungkinan lain, ada juga yang beranggapan bahwa Netanyahu terlalu takut melakukan aneksasi jika resikonya sendiri tidak terkendali. Aneksasi memang langkah beresiko mengingat banyak isu bersilangan di sana mulai dari kepentingan Amerika, kepentingan Arab, kepentingan Israel, dan tentu juga kedaulatan Palestina. PBB sudah memperingatkan Netanyahu bahwa aneksasi akan memicu berbagai masalah, mulai dari ketidakstablian di Tepi Barat dan sanksi dari negara lain.
"Aneksasi akan mengubah dinamika di Tepi Barat secara dramatis. Saking dramatisnya, akan memicu ketidakstabilan dan konflik di wilayah Tepi Barat (yang sudah dihuni) serta Gaza," ujar utusan PBB untuk Timur Tengah, dikutip dari Al Jazeera.
Yordania, satu dari dua negara Arab yang meneken kesepakatan damai dengan Israel, pun mengancam akan membatalkan kesepakatan jika aneksasi terjadi. Sementara itu, Uni Eropa, rekan dagang terbesar Israel, memberi ultimatum bahwa sanksi dagang bisa terjadi jika Israel membandel.
Palestina, yang posisinya terancam, ikut angkat suara. Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengancam akan membubarkan Otoritas Palestina jika Israel bergerak maju. Hal itu diikuti dengan penyerahan semua senjatanya ke Militer Israel (IDF).
Pemimpin partai Biru dan Putih, Benny Gantz terlihat saat ia tiba untuk memberikan suara dalam pemilihan parlemen Israel di sebuah tempat pemungutan suara di Rosh Ha'ayin, Israel 17 September 2019. [REUTERS / Ronen Zvulun]
Hal-hal di atas baru faktor eksternal. Faktor internal ikut memperkeruh rencana aneksasi Tepi Barat. Hal tersebut tidak terlepas dari masalah Matahari Kembar yang berada di dalam tubuh Israel: Benjamin Netanyahu dan Perdana Menteri Alternatif, Benny Gantz.
Gantz, yang juga Menteri Pertahanan Israel, adalah 'mantan' pesaing politik Netanyahu. Politisi dari Partai Biru Putih tersebut menjadi perdana menteri alternatif pada April lalu lewat kesepakatan dengan Netanyahu. Pemicunya, tiga pemilu Israel masih saja gagal memecah kebuntuan politik di sana. Kesepakatan keduanya. Netanyahu hanya akan memimpin selama 18 bulan sebelum Gantz menggantikannya.
Posisi perdana menteri alternatif dimanfaatkan Gantz untuk ikut berperan di isu aneksasi Tepi Barat. Gantz tidak menentang rencana tersebut mengingat hal itu masuk dalam kesepakatannya dengan Netanyahu. Namun, ia merasa berhak untuk ikut menentukan direksi dari rencana aneksasi, termasuk kapan sebaiknya dilakukan dan seberapa luas pencaplokannya.
Senin kemarin, misalnya, Gantz melempar sinyal bahwa aneksasi Tepi Barat bisa ditunda. Hal itu ia sampaikan dalam pertemuan Partai Biru Putih di Knesset. Ia menggunakan masalah virus Corona sebagai alasan. Menurut Gantz, rencana aneksasi Tepi Barat kalah penting apabila dibandingkan dengan rencana pengendalian pandemi Corona.
Sabtu pekan lalu, ia juga mengatakan bahwa Hukum Israel tidak akan diberlakukan sembarangan dalam rencana aneksasi Tepi Barat. Jika di sebuah wilayah hasil aneksasi terdapat lebih banyak warga Palestina dibandingkan Israel, maka Hukum Israel tidak akan diberlakukan di sana. Menghindari kata kewarganegaraan, Gantz menjanjikan ada keadilan bagi warga Palestina.
"Saya tidak ingin membatasi kebebasan bergerak mereka," ujar Gantz. Hal itu ia sampaikan dalam rancangan batasan-batasan aneksasi yang ia buat kurang dari sepekan. Ia juga menegaskan bahwa aneksasi sebisa mungkin akan menghindari tempat dengan mayoritas warga berasal dari Palestina. Fokus utama aneksasi adalah meresmikan wilayah hunian warga Yahudi di Tepi Barat yang selama ini diklaim ilegal.
Gantz bermain hati-hati, tetap patuh dengan Netanyahu namun tidak juga sepenuhnya tunduk. Mengingat dirinya akan memimpin Israel di kemudian hari, di tidak mau mengorbankan keamanan, aset strategis, dan kesepakatan damai dengan Arab yang penting baginya. Menurutnya, jika rencana aneksasi, yang mengacu pada rencana damai Presiden Amerika Donald Trump, perlu dievaluasi, maka akan dievaluasi dan dinegosiasikan perubahannya.
"Kami mencoba menciptakan damai dengan Palestina sembari tetap mengacu pada rencana yang dibuat Trump," ujar Gantz sebagaimana dikutip dari Jerusalem Post.
Benny Gantz dan Benjamin Netanyahu.[Times of Israel]
Netanyahu tidak mengindahkan pernyataan Gantz. Dalam pertemuan tertutup Partai Likud, ia menyebut Gantz maupun Partai Biru Putih tidak memiliki kapasitas apapun untuk ikut menentukan direksi aneksasi. "Masalah aneksasi Tepi Barat tidak menunggu persetujuan Gantz ataupun Biru Putih," ujar Netanyahu.
Netanyahu ingin sepenuhnya setia dengan rencana Trump, mencaplok 30 persen wilayah Tepi Barat yang dihuni secara illegal oleh 430 ribu warga Yahudi. Hal tersebut sudah termasuk mengikutkan Lembah Yordan. Gantz, di satu sisi, ingin aneksasi yang lebih selektif dengan fokus terhadap hunian dengan mayoritas warga Yahudi saja.
Gantz mendapat dukungan, dalam kapasitas tertentu, dari Menteri Luar Negeri Gabi Ashkenazi. Menurut seorang diplomat PBB, Ashkenazi diam-diam mencoba menghalangi upaya aneksasi Tepi Barat juga.
Ashkenazi tidak setuju dengan implementasi kedaulatan Israel di Tepi Barat, baik secara penuh seperti keinginan Netanyahu ataupun selektif seperti kemauan Gantz. Namun, ia mendukung pernyataan Gantz bahwa hubungan baik dengan Yordan dan Mesir harus dijaga mengingat salah satunya sudah mengultimatum Israel.
Satu hal yang perlu diingat, kompak atau tidaknya Gantz dan Netanyahu, rencana aneksasi tetap harus mendapat dukungan dari Trump. Duta Besar Amerika di Israel, David Friedman, pekan lalu, menyatakan bahwa Amerika sudah mulai berdiskusi soal pendakatan apa yang akan diambil untuk aneksasi barat. Salah satu hal yang didiskusikan, jika Gantz dan Netanyahu tidak saling sepakat.
Ruwetnya masalah aneksasi Tepi Barat membuat skenario penundaan menjadi hal yang tak mengejutkan. Apalagi, jika Netanyahu ingin berjudi dengan kemungkinan Trump kembali memenangkan Pilpres Amerika pada November nanti. Kemenangan Trump memungkinkannya untuk memperluas aneksasi. Bagaimanapun, rencana aneksasi Tepi Barat tidak akan ada tanpa kehadiran Trump. "Gantz dan partainya bukanlah faktor," ujar Netanyahu tegas.
ISTMAN MP | THE JERUSALEM POST | AL JAZEERA