TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menyoroti pemberian kewenangan kepada Kementerian Kesehatan dalam menetapkan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bagi daerah yang terinfeksi virus Corona atau Covid-19.
Trubus menilai, kewenangan penetapan status PSBB semestinya langsung oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. “Kalau menurut saya harus di bawah Presiden langsung, karena Presiden yang dapat amanah dari rakyat,” kata Trubus kepada Tempo, Senin, 6 April 2020.
Trubus mengatakan, selain Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB, terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 juga semakin menonjolkan kewenangan Kementerian Kesehatan dalam PSBB. Padahal, kata Trubus, sudah ada Gugus Tugas Penanganan Covid-19.
“Harusnya PSBB tidak perlu menggunakan aturan Permenkes. Tapi daerah bisa langsung koordinasi dengan Gugus Tugas. Gugus Tugas yang berkoordinasi pusat dan daerah,” katanya.
Apalagi, kata Trubus, isi Permenkes tersebut bersifat kuratif ketimbang preventif. Sebab, keberhasilan pencegahan penyebaran Covid-19 ini ada di tangan pemerintah daerah yang paling mengetahui wilayahnya termasuk zona merah atau bukan.
Menurut Trubus, pengajuan status PSBB ke Kementerian Kesehatan juga tidak efektif karena terlalu birokratis. “Jadi kepala daerah ada 542. Kalau harus izin Permenkes mau berapa lama? Kan kejar-kejaran dengan penyebaran Covid-19, ini soal wabah, bukan birokrasi.”
Di negara lain, kata Trubus, kewenangan terkait virus Corona ini di bawah kepala negara. Misalnya Ameriksa Serikat oleh wakil presidennya. Selain itu, Indonesia perlu belajar dari pengalaman sebelumnya saat menangani bencana tsunami. Trubus mengatakan, saat itu, penanganan bencana berada di bawah Wakil Presiden ke 10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) dan bisa tertangani dengan baik.
“Sekarang malah diserahkan ke Menteri Kesehatan, terus ada Gugus Tugas, ada lagi koordinator. Di situ jadi bersaing sendiri-sendiri, akhirnya malah PSBB ini jadi enggak efektif,” ujar Trubus.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang pedoman PSBB sebagai bagian dari upaya Percepatan Penanganan wabah virus Corona. Selain menjadi wewenang menteri kesehatan, Permenkes ini menetapkan bahwa permohonan PSBB di suatu wilayah bisa diminta gubernur, bupati atau wali kota kepada menteri.
Ada sejumlah kriteria yang perlu dipenuhi oleh wilayah yang akan mengajukan status tersebut.
Kriteria pertama adalah jumlah kasus positif dan kematian yang menyebar dan cepat. "Lalu keterkaitan epidimologis yang serupa dengan wilayah atau negara terdampak lain," kata Sekretaris Jenderal Kemenkes RI Oscar Primadi di Graha BNPB, Ahad, 5 April 2020.
Berkaitan dengan epidemologis, kata Oscar, daerah juga harus menyertakan data lengkap dengan kurva epidemiologi.
Kriteria lainnya adalah kepala daerah yang mengajukan status PSBB harus menyampaikan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan.
Permohonan tersebut harus disertai juga dengan sejumlah data, seperti bukti peningkatan dan penyebaran berdasarkan waktu, kejadian transmisi lokal, dan informasi kesiapan daerah.
Setelah semua data diberikan daerah, kata Oscar, akan dikaji terlebih dahulu oleh tim penetapan PSBB bentukan Menkes. Tim ini yang kemudian akan memberikan rekomendasi penetapan PSBB kepada Menteri Kesehatan dalam waktu paling lama satu hari sejak diterimanya permohonan penetapan.