TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru akan memasuki fase kehancuran usai Dewan Pengawas KPK dilantik.
"Bukan lagi suram. Tapi fase kehancuran KPK adalah setelah pengesahan UU KPK baru, pelantikan pimpinan KPK dan Dewan Pengawas," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat dihubungi pada Ahad, 22 Desember 2019.
ICW, kata Kurnia, melihat Dewan Pengawas yang dibentuk Presiden Joko Widodo merupakan bentuk lain untuk melemahkan KPK secara sistematis. Penilaian publik dibuat seakan KPK memiliki harapan dengan hadirnya Dewan Pengawas.
Padahal, menurut Kurnia, jika ditelisik lebih jauh, dengan adanya UU KPK baru, justru akan semakin memperlihatkan bahwa hadirnya Dewas Pengawas menghambat pemberantasan korupsi.
"Bukan persoalan siapa yang dipilih, orang baik atau bukan orang baik, tapi fungsi dari kelembagaan Dewan Pengawas itu yang dipersoalkan," kata Kurnia.
Ke depan, jika KPK ingin melakukan tindakan pro justicia maka harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Dewan Pengawas. "Secara teoritik ini sudah keliru, dan implikasi seriusnya tentu penindakan KPK akan menjadi lambat," ucap Kurnia.
Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan tidak ragu akan kualitas dan integritas lima anggota Dewan Pengawas KPK periode 2019-2023. Tapi dia menilai cara Presiden Jokowi memasukkan orang-orang yang dianggap baik ke dalam sistem yang buruk akibat Undang-Undang KPK hasil revisi ibarat memberi permen untuk memperlihatkan sedikit kemajuan dari sesuatu yang sudah ditarik mundur jauh ke belakang.
“Jangan lupakan dosa (pemerintah) yang menarik mundur (agenda pemberantasan korupsi) jauh sekali,” kata Zainal.
Ia mengatakan tantangan terbesar anggota Dewan Pengawas saat ini adalah membuat prosedur operasional standar untuk menyetujui kegiatan-kegiatan pro justitia, seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. “Kemungkinannya Dewan Pengawas akan berantem dengan komisioner,” ujarnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menguatkan pendapat Zainal. Feri mengatakan masalahnya bukan soal figur anggota Dewan Pengawas semata, melainkan ada sistem pemberantasan korupsi yang buruk akibat revisi Undang-Undang KPK pada September lalu. Sistem buruk itu membuat banyak tahapan yang harus dilalui untuk pemberantasan korupsi. “Ibarat tudung makannya bagus dan indah, tapi makanan di dalamnya basi,” kata Feri.
Pada 20 Desember 2019, Presiden Joko Widodo Jokowi melantik lima anggota Dewan Pengawas KPK. Jokowi menunjuk Tumpak Hatorangan sebagai Ketua Dewan Pengawas sekaligus anggota. Empat lainnya adalah Artidjo Alkostar, Syamsuddin Haris, Albertina Ho, dan Harjono.
Jokowi menyebut para anggota dewas yang dipimpin oleh Tumpak Hatorangan, merupakan orang-orang baik. "Beliau adalah orang baik memiliki kapabilitas, memiliki integritas, memiliki kapasitas dalam hal-hal yang berkaitan wilayah hukum," kata Jokowi, saat ditemui usai pelantikan.
Jokowi juga menyebut ia sengaja memilih lima orang anggota berdasarkan latar belakang yang berbeda-beda. Tumpak merupakan mantan Jaksa dan pimpinan KPK, Harjono yang merupakan ketua DKPP dan mantan hakim Mahkamah Konstitusi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsudin Harris, dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Albertina Ho.
"Saya kira sebuah kombinasi yang sangat baik sehingga memberikan fungsi terutama fungsi kontrol dan pengawasan terhadap komisioner KPK," ujar Jokowi.
Jokowi meyakini para anggota Dewan Pengawas dapat beradaptasi dan bekerja sama dengan para Komisioner KPK baru, yang juga dilantik di hari yang sama.