TEMPO.CO, Jakarta - Surat keputusan bersama atau SKB 11 instansi pemerintah tentang penanganan radikalisme menuai kontroversi. Pemerintah dianggap terlalu jauh masuk ke ranah privat para pegawai negeri sipil atau PNS.
Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, mengkritik surat keputusan bersama (SKB) 11 instansi pemerintah tersebut. Menurut dia, SKB ini merupakan legalisasi untuk menuduh seorang ASN yang kritis sebagai radikal.
“Akhirnya jadi juga legalisasi tuduhan radikalisme ini dituangkan dalam konstruksi kerja pemerintah. Padahal, Presiden Joko Widodo sudah mengoreksi istilahnya, bukan radikalisme," katanya lewat pesan singkat pada Tempo, Ahad, 24 November 2019.
Menurut Haris, SKB ini menganggap kritik kepada pemerintah merupakan perbuatan radikal. "Kritik diputarbalikkan seolah sebagai radikalisme," ucap dia.
Haris menduga SKB ini untuk menyasar ASN-ASN yang kritis terhadap kebijakan yang dimanipulasi oleh penguasa. Pasalnya ASN sebagai orang lapangan mengerti tentang kelemahan atau cacat dari kebijakan tersebut.
"Kritik mereka kerap muncul dalam berbagai ruang dan kerumunan tertentu. Hal ini yang kemudian akan dilihat (baca: dituduh sebagai radikal) oleh Rezim Jokowi jilid II ini," ujarnya.
Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana mengungkapkan bahwa pemerintah tidak ujug-ujug menerbitkan SKB 11 instansi pemerintah tentang penanganan radikalisme pada aparatur sipil negara (ASN). "Dibahas sudah sejak sebelum pemilu yang lalu," kata Bima dalam pesan teks kepada Tempo, Senin, 2 Desember 2019.
SKB ini telah diterbitkan pada 12 November 2019 bersamaan dengan peluncuran portal aduanasn.id. Dalam SKB tertuang 11 kriteria pelanggaran yang masyarakat umum bisa adukan lewat portal. Beberapa di antaranya adalah larangan menyampaikan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian pada Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, pemerintah, dan salah satu suku, agama, atau ras.
SKB ini melarang pula ASN mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
ASN juga dilarang memberikan reaksi berupa komentar atau tanggapan lain seperti memberikan likes, dislike, love, retweet, dan sebagainya terhadap ujaran kebencian yang ditujukan pada pemerintah di media sosial. Mereka juga dilarang menggunakan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
Menurut Survei Parameter Politik Indonesia, saat ini Indonesia tidak sedang dalam keadaan darurat radikalisme dan Islam politik, seperti yang digembar-gemborkan pemerintah.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno memaparkan hasil survei lembaganya menyimpulkan mayoritas masyarakat Indonesia termasuk golongan moderat. Hal ini ditunjukkan dengan data bahwa 81,4 persen masyarakat menganggap Pancasila dan agama sama penting. Adapun kelompok yang menyatakan agama lebih penting dari Pancasila hanya 15,6 persen.
Bima Haria menuturkan, berdasarkan survei tersebut, masyarakat secara umum memang tidak darurat radikalisme. "Tapi di ASN-nya darurat. Itu (SKB) hanya mengatur para ASN, bukan yang lain," ujarnya.
Sebanyak 11 instansi sejak sebelum pemilu 2019 sudah mengadakan rapat gabungan untuk mencegah ASN terpapar radikalisme. Bima Haria mengatakan bahwa Badan Nasional Penanggulangan Terorisme memiliki data jumlah ASN yang terpapar radikalisme. "Datanya di BNPT. Mereka yang berwenang," kata dia.
Juru bicara BNPT, Irfan Idris, tak menjawab ketika ditanya soal jumlah data ASN yang terpapar paham radikalisme. Adapun jumlah ASN saat ini mencapai 4 juta orang. SKB 11 instansi, kata dia, merupakan wujud antisipasi pencegahan.
Bentuk pencegahan atau tindak lanjut SKB 11 instansi, yaitu Kepala BNPT akan mengisi materi pencerahan dengan resonansi kebangsaan bagi ASN baru. Namun, untuk pencegahan lebih optimal, Irfan meminta setiap instansi bergerak aktif. "Masing-masing instansi yang harus lebih aktif melakukan dialog dan pencerahan kepada segenap ASN-nya," ucap Irfan.