Di RS Polri, Rosminah berhasil menemukan anaknya yang sudah menjalani operasi di bagian kepala. Sang ibu masih mengingat wajah anaknya yang penuh lebam; bibirnya bengkak hingga hidung dan kepala bagian belakangnya membesar.
Setelah beberapa hari dirawat di RS Polri, Akbar kemudian dirujuk ke RSPAD Gatot Soebroto. Alasannya, peralatan medis di RSPAD lebih lengkap untuk menangani pasien yang kritis. Akbar akhirnya meninggal pada Kamis, 10 Oktober, lalu.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Prabowo Yuwono, menepis kecurigaan bahwa Akbar menjadi korban kekerasan aparat. Menurut dia, Akbar ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri di dekat gerbang gedung DPR, Kamis dinihari 26 September, itu.
"Menurut keterangan saksi, yang bersangkutan jatuh ketika menghindari kerusuhan dengan melompati pagar di depan gedung DPR," kata Argo. Meski begitu, menurut Argo, kepolisian akan menyelidiki penyebab luka di tubuh Akbar. "Nanti kita lihat hasilnya."
Argo juga membenarkan penerbitan surat penetapan tersangka untuk Akbar. Status tersangka itu, menurut dia, ditetapkan berdasarkan pemeriksaan tersangka lain. "Yang bersangkutan disebut juga ikut melempari polisi dengan batu dan bom molotov serta ikut merusak fasilitas publik." Dengan meninggalnya Akbar, menurut Argo, status tersangka itu juga dihapuskan.
Rosminah (kiri) menangis saat prosesi pemakaman anaknya yang menjadi korban demo ricuh, Akbar Alamsyah di Taman Pemakaman Umum (TPU) kawasan Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta, Jumat, 11 Oktober 2019. Akbar menjadi korban demo ricuh di DPR pada 25 September lalu. ANTARA
Kepolisian juga menyatakan tengah menyelidiki kasus kematian pengunjuk rasa lainnya. Tercatat lima orang tewas dalam rangkaian unjuk rasa penolakan atas pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan sejumlah rancangan undang-undang bermasalah lainnya itu. Di Kendari, dua mahasiswa Universitas Haluoleo, Randy dan M. Yusuf Kardawi, tewas setelah unjuk rasa yang berlangsung ricuh. Di Jakarta, ada tiga orang korban tewas, yaitu Bagus Putra Mahendra, Akbar Alamsyah, dan Maulana Suryadi alias Yadi.
Lebih jauh, Kontras mendesak pemerintah membentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki penanganan unjuk rasa di Jakarta dan di sejumlah daerah. "Sejak awal, kami mendukung adanya semacam tim independen," ujar Yati.
Menurut Yati, tim tersebut, antara lain, harus melibatkan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman RI, Komisi Kepolisian Nasional, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia. "Tim independen itu idealnya ada di bawah Presiden," ujar dia.