TEMPO.CO, Jakarta - Polisi telah menetapkan sejumlah pihak sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Terbaru, lima perusahaan sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan polisi menetapkan Direktur Operasional PT Bumi Hijau Lestari sebagai tersangka. "Inisialnya AK (Alvaro Khadafi) sebagai direktur operasional PT Bumi Hijau Lestari. Sudah dilakukan police line sejak awal terbakar," kata Dedi saat dikonfirmasi, Kamis, 19 September 2019.
PT Bumi Hijau Lestari disangka membakar hutan di wilayah Sumatera Selatan. Menurut Dedi, PT Bumi Hijau Lestari, termasuk Alvaro diduga lalai dengan tidak mampu mencegah kebakaran hutan dan lahan. "Dianggap lalai dalam mencegah terjadinya kebakaran, petugas pemadam hanya enam orang untuk bertanggung jawab terhadap lahan seluas sekitar 2.500 hektare. Dugaan sementara ini ya," ujar Dedi.
Kepolisian Daerah Sumatera Selatan akan memeriksa sejumlah saksi ahli. Sebab, kata Dedi, korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka akan dikenakan banyak pasal sehingga penetapan sangkaan pasal harus melalui saksi ahli. "Bukan hanya KUHP, tapi ada UU Lingkungan Hidup, UU Perkebunan, UU Kehutanan, dan sebagainya," kata Dedi.
Selain PT Bumi Hijau Lestari, empat korporasi lainnya yang menjadi tersangka adalah PT Sumber Sawit Sejahtera di Riau, PT Palmindo Gemilang Kencana di Kalimantan Tengah, PT SAP di Kalimantan Barat, dan PT Sepanjang Inti Surya Utama (PT SISU) di Kalimantan Barat. Sedangkan untuk tersangka individu yang tersebar di tujuh provinsi terjadinya karhutla, Polri telah menetapkan 230 orang.
Menurut Dedi, para tersangka perorangan tersebar di Riau sebanyak 47 orang, Kalimantan Barat 61 orang, Kalimantan Tengah 65 orang, Sumatera Selatan 27 orang, Jambi 14 orang, Kalimantan Selatan 4 orang, dan 12 orang tersangka sisanya tersebar di sejumlah kabupaten di Sumatera dan Kalimantan. Dia juga mengatakan bahwa kepolisian juga tengah memburu 1 perusahaan lagi untuk segera ditetapkan sebagai tersangka.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat kebakaran yang melanda sejumlah provinsi di Indonesia telah seluas 328.722 hektare. Luas kebakaran dimungkinkan bertambah akibat banyaknya orang yang melakukan pembakaran lahan dan hutan. Kepolisian melaporkan ada praktik land clearing dengan cara membakar lahan.
Kepolisian sebelumnya juga telah membeberkan sejumlah perusahaan yang telah ditetapkan sebagai tersangka pembakar hutan. Mereka di antaranya PT Surya Argo Palma, PT Sumber Sawit Sejahtera, PT Palmindo Gemilang Kencana, dan PT Sepanjang Inti Sinar Usaha. Dedi juga mengatakan pihaknya telah menambah satu perusahaan PT Mananjung Hayak sebagai tersangka.
Dedi menjelaskan, dalam kasus ini, kepolisian telah meningkatkan kerjasama dengan sejumlah lembaga dan instansi untuk mempercepat proses penyidikan. Di antaranya melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, TNI, KLHK, dan pemerintah lokal. Polisi juga berkoordinasi untuk menjerat tersangka dengan pasal berlapis, seperti dengan Undang-undang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Perkebunan, UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan lainnya.
Selain kepolisian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga tengah memburu para korporasi pembakar hutan. Saat ini, mereka telah menyidik sedikitnya 5 perusahaan lain dan menyegel 51 perusahaan, bersama 1 milik perorangan, dengan total luas lahan mencapai 8.931 hektare. "Kami telah melakukan penyegelan terhadap 51 perusahaan di 6 provinsi terkait peristiwa kebakaran hutan dan lahan," kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, Rabu, 18 September 2019.
Data perusahaan yang disegel itu di antaranya di Jambi 2 perusahaan, Riau 8 perusahaan, Sumatera Selatan 1 perusahaan, Kalimantan Barat 30 perusahaan dan 1 perorangan, Kalimantan Tengah 9 perusahaan, dan Kalimantan Timur 1 perusahaan. Perusahaan itu disegel untuk diselidiki dalam kaitan kebakaran hutan yang terjadi di sejumlah provinsi tersebut.
Kebakaran hutan yang terjadi sejak beberapa bulan terakhir menyebabkan kabut asap yang parah di Sumatera dan Kalimantan. Kabut asap juga dialami negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura.
Saat meninjau lokasi kebakaran hutan dan lahan, Presiden Joko Widodo menduga tindakan ini dilakukan secara terorganisasi. "Kalau kita lihat luasannya (lahan) besar sekali. Ini terorganisasi. Nanti coba ditanyakan Pak Kapolri penanganannya secara detail," ujar Jokowi seperti dikutip dari keterangan resmi Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden. Hal ini disampaikan usai meninjau lokasi karhutla di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan, Kota Pekanbaru, Selasa, 17 September 2019.
Jokowi memerintahkan polisi untuk menindak tegas pelaku pembakar lahan. Ia juga berharap agar masing-masing pihak menjalankan komitmen pencegahan kebakaran hutan dan lahan agar peristiwa yang terjadi saat ini tak terulang kembali.
Akibat kabut asap, sejumlah maskapai telah membatalkan penerbangan. Kementerian Perhubungan juga menghimbau nahkoda kapal agar hati-hati melaut karena jarak pandang yang terbatas.
Hingga kini, kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan masih dihitung. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum bisa menentukan jumlah pastinya.
Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Rifai mengatakan penghitungan kerugian akan menggunakan metode Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana atau Jitu Pasna. “Jitu Pasna darurat karhutla bersifat dua asumsi,” kata Rifai saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 18 September 2019.
Pertama yaitu asumi kerusakan ekologi atau ekosistem. Di dalamnya, termasuk kerusakan pada sumber daya fauna dan flora yang ada di wilayah yang terbakar.
Kedua yaitu asumsi gangguan pada kesehatan di masyarakat. BNPB bakal melihat berapa banyak warga yang mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan gangguan kesehatan lainnya. Selain itu, BNP bakal menghitung kerugian pada kegiatan perekonomian masyarakat. Di dalamnya termasuk perdagangan, pariwisata, hingga perhubungan air udara dan alur yang mengalami keterlambatan atau delay.
“Untuk sementara, data serta informasi kejadian dan dampaknya juga belum valid betul,” kata Rifai
ANDITA RAHMA | AVIT HIDAYAT | FAJAR PEBRIANTO